informasi cari disini

Saturday 1 October 2011

Sejarah Desa Sampetan


Sejarah Desa Sampetan
1.      Masa Penjajahan Belanda 1931 - 1945
Desa Sampetan termasuk wilayah Kerajaan Kartosuro yaitu milik Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi, pemerintahan Desa Sampetan dipimpin oleh seorang Demang yaitu Raden Demang Sastrodimejo yang merupakan trah Kasunanan Kartosuro dengan silsilah keturunan trah Kartosuro sebagai berikut;
a)      berturut-turut mulai dari Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro mempunyai putra-putri sebanyak 42 orang;
b)      Putra ke enam belas  yaitu K.G.P.H Mangkunegoro di Kartosuro memiliki 16 putra-putri;
c)      Putra ke tujuh yaitu K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) mempunyai putri yaitu R.A Singo Setiko di Boyolali;
d)     R.A Singo Setiko mempunyai Putra yaitu Raden Ngabehi Ponco Antoro;
e)      Raden Ngabehi Ponco Antoro mempunyai empat putra-putri yaitu:
1.      R. Poncowisudo di Gubug,
2.      R. Demang Sastrodimejo di Sampetan,
3.      Raden Nganten Niti Suharjo dan
4.      R. Poncosuroyo di Gubung.
Maka silsilah keturunan trah Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dapat di uraikan dengan bagan sebagai berikut;
Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro .
K.G.P.H Mangkunegoro di Kartosuro .
K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) .
R.A Singo Setiko di Boyolali .
Raden Ngabehi Ponco Antoro .
R. Demang Sastrodimejo di Sampetan .





Gambar 01. Gambar Silsilah Trah Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi
Sumber: Soetomo, 2005: halaman 17


2.      Masa Pasca Perang Kemerdekaan 1945 – 1951
Masa penjajahan Belanda di Desa Sampetan termasuk wilayah Melambong dan sistem Cultur stelsel (tanam paksa) diberlakukan. Kemudian sistem tanam paksa dihapus dan diganti dengan perjanjian dengan Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dari Kraton Kartosuro yaitu perjanjian Agrarisch Wet.s. 1870 pada pasal 51 js berbunyi:
dengan peraturan undang-undang akan tanah-tanah hak earpac H.T, pengusahaan tanah perkebunan paling lama 75 tahun
(Soetomo, 2005: 15).

Lahan pertanian dan sistem irigasi sangat bagus ditinjau dari upaya pelestarian alam maupun penggunaan lahan. Pola perkebunan di tata sesuai kondisi tanah, dan sistem irigasi sudah modern, demikian juga jalan-jalan pengangkut hasil perkebunan telah diaspal. Secara umum kondisi sosial ekonomi masyarakat walau dalam era penjajahan termasuk dalam taraf cukup hal ini dibuktikan dengan penghasilan tetap buruh kebun teh maupun buruh kebun kopi, untuk laki-laki dari jam 07.30–13.30 mendapat penghasilan sebesar 5 sen, sedangkan perempuan dengan waktu yang sama sebesar 3 sen. Jumlah ini besar jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata buruh saat ini diwilayah Desa Sampetan dari jam 08.00 – 16.00 untuk kuli sebesar + Rp 25.000,00 dan tukang sebesar +Rp 30.000,00. jika ditinjau harga beras per bojok (+8 kg) pada jaman Belanda 1 bojok seharga 4 sen 1 benggol (4,10 sen) dan era sekarang 1 bojok sebesar Rp 50.000,00 untuk beras standar/ istilah penduduk setempat disebut beras sembako. Sehingga penghasilan perhari waktu penjajahan Belanda masyarakat dapat memperoleh 8 kg beras sedangkan saat ini hanya sekitar 2 – 3,8 kg itupun hanya beras sembako.
Sistem irigasi sudah modern dengan dibangun bak penampung air dari sumber mata air grenjengan, terdapat banyak bak-bak tandon air yang saat ini tinggal 2 bak saja yaitu di sebelah timur dukuh Sukorame  atau sebelah barat dukuh Sampetan dan di tengah-tengah dukuh Sampetan, bak-bak lainnya sudah rusak era perang kemerdekaan. Saluran irigasi bagus dibangun parit-parit yang dibuat dari batu dan semen bahkan sampai jurang/ kali, untuk menghindari longsor dan erosi juga dibuatkan plesteran batu dan semen. Jalan dari lokasi perkebunan ke pabrik pengolahan produksi jalan-jalan sudah di aspal sehingga distribusi hasil pertanian dapat berjalan dengan lancar.
Pasca perang kemerdekaan terjadi perubahan besar-besaran di Desa Sampetan secara keseluruhan sistem pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan Demang selaku penguasa yang memimpin penduduk menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan banyak keluarga trah-trah Bangsawan yang menjadi tawanan Belanda dan penduduk waktu itu memiliki istilah populer yaitu ”di gondol londho”, sehingga para pejuang yang ditangkap Belanda akan mendapat sebutan gondol londho”.
Era Tahun 1945-1951 sistem pemerintahan sudah bukan milik Kasunanan Kartosuro, sekarang milik Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut ini bagan kepala Desa mulai tahun 1942-2011:
No
Kepala Desa
Tahun
1
Raden Demang Sastrodimejo
Masa penjajahan
2
Raden Demang Sumodirejo
3
Raden Singodimejo
4
Cokro Subroto
Masa ORBA

5
Parno
6
Priyo Hartoyo
7
Mawardi
8
Semin Hartono
Sekarang

Perang merusak segala tatanan yang telah teratur di Desa Sampetan Pabrik pengolahan teh dan kopi di Melambong, sekarang Pabrik textile Primayudha Ngadirojo dihancurkan. Kebun teh dan kebun kopi juga dijarah dan dihancurkan kemudian terjadi pemindahan kepemilikan dari milik onderneming Belanda menjadi ladang atau pekarangan milik penduduk. Jalan-jalan dan jembatan, saluran irigasi dihancurkan untuk menghalang-halangi agresi KNIL yang begitu kejam karena sebagian besar tentara Belanda adalah orang-orang Negro dan orang-orang India  Tamil yang dalam istilah penduduk disebut Londho Ireng. Pada saat Kepala Desa bapak Cokro Subroto, era kemerdekaan, terjadi pembagian tanah bekas perkebunan milik Belanda menjadi tanah milik rakyat.
Pembagian tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi dukuh-dukuh baru dan perkebunan-perkebunan menjadi ladang-ladang milik rakyat. Luas lahan pekarangan adalah 2.000 m2, sedangkan ladang satu bahu 6.000 m2.

B.     Pejuang-pejuang asal desa Sampetan (pahlawan nasional)
C.    Alih Guna Lahan
Era tahun + 1987-1989, penduduk di Dusun Cemorosewu, Dusun Baturejo, Dusun Sendang, Dusun Sukorame mengajukan ke Pemerintah pensertifikatan tanah hutan kawasan lereng gunung merbabu  masyarakat menyebut etan plang malang, yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM) dan tanah oro-oro untuk di sertifikatkan menjadi SHM. Atas permohonan warga penduduk, disetujui oleh Pemerintah dengan di bentuk Kepanitiaan Pensertifikatan Tanah Oro-oro dan Hutan Kawasan Lereng Gunung Merbabu menjadi pekarangan tempat tinggal dan lahan pertanian dengan pembagian lahan untuk pekarangan seluas 1500 m2, dan untuk ladang seluas 2.500 m2, biaya untuk pensertifikatan tanah sebesar Rp 800.000 (delapan ratus ribu rupiah), namun saat itu harga emas pergram sebesar + Rp 25.000,00 s/d Rp 30.000,00 jika pensertifikatan tanah tersebut dengan harga emas maka menjadi sebesar 32 gram atau 27,5 gram.
Biaya pensertifikatan tanah tahun 2010 untuk tanah letter C dan letter D sebesar + Rp1.500.000,00-Rp3.000.000,00 maka dapat dibayangkan apa yang menjadi penyebab mahalnya harga pensertifikatan tanah tersebut karena harga emas untuk  per 31 Juli 2010 adalah + Rp 250.000,00 sehingga jika diakumulasikan dengan harga emas maka biaya pensertifikatan tanah tersebut sebesar + Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dan atau Rp 6.875.000,00 (enam juta delapan ratus ribu tujuh puluh lima ribu rupiah).

PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR

Chat

CHATT