informasi cari disini

Saturday 1 October 2011

Sejarah Desa Sampetan


Sejarah Desa Sampetan
1.      Masa Penjajahan Belanda 1931 - 1945
Desa Sampetan termasuk wilayah Kerajaan Kartosuro yaitu milik Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi, pemerintahan Desa Sampetan dipimpin oleh seorang Demang yaitu Raden Demang Sastrodimejo yang merupakan trah Kasunanan Kartosuro dengan silsilah keturunan trah Kartosuro sebagai berikut;
a)      berturut-turut mulai dari Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro mempunyai putra-putri sebanyak 42 orang;
b)      Putra ke enam belas  yaitu K.G.P.H Mangkunegoro di Kartosuro memiliki 16 putra-putri;
c)      Putra ke tujuh yaitu K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) mempunyai putri yaitu R.A Singo Setiko di Boyolali;
d)     R.A Singo Setiko mempunyai Putra yaitu Raden Ngabehi Ponco Antoro;
e)      Raden Ngabehi Ponco Antoro mempunyai empat putra-putri yaitu:
1.      R. Poncowisudo di Gubug,
2.      R. Demang Sastrodimejo di Sampetan,
3.      Raden Nganten Niti Suharjo dan
4.      R. Poncosuroyo di Gubung.
Maka silsilah keturunan trah Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dapat di uraikan dengan bagan sebagai berikut;
Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro .
K.G.P.H Mangkunegoro di Kartosuro .
K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) .
R.A Singo Setiko di Boyolali .
Raden Ngabehi Ponco Antoro .
R. Demang Sastrodimejo di Sampetan .





Gambar 01. Gambar Silsilah Trah Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi
Sumber: Soetomo, 2005: halaman 17


2.      Masa Pasca Perang Kemerdekaan 1945 – 1951
Masa penjajahan Belanda di Desa Sampetan termasuk wilayah Melambong dan sistem Cultur stelsel (tanam paksa) diberlakukan. Kemudian sistem tanam paksa dihapus dan diganti dengan perjanjian dengan Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dari Kraton Kartosuro yaitu perjanjian Agrarisch Wet.s. 1870 pada pasal 51 js berbunyi:
dengan peraturan undang-undang akan tanah-tanah hak earpac H.T, pengusahaan tanah perkebunan paling lama 75 tahun
(Soetomo, 2005: 15).

Lahan pertanian dan sistem irigasi sangat bagus ditinjau dari upaya pelestarian alam maupun penggunaan lahan. Pola perkebunan di tata sesuai kondisi tanah, dan sistem irigasi sudah modern, demikian juga jalan-jalan pengangkut hasil perkebunan telah diaspal. Secara umum kondisi sosial ekonomi masyarakat walau dalam era penjajahan termasuk dalam taraf cukup hal ini dibuktikan dengan penghasilan tetap buruh kebun teh maupun buruh kebun kopi, untuk laki-laki dari jam 07.30–13.30 mendapat penghasilan sebesar 5 sen, sedangkan perempuan dengan waktu yang sama sebesar 3 sen. Jumlah ini besar jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata buruh saat ini diwilayah Desa Sampetan dari jam 08.00 – 16.00 untuk kuli sebesar + Rp 25.000,00 dan tukang sebesar +Rp 30.000,00. jika ditinjau harga beras per bojok (+8 kg) pada jaman Belanda 1 bojok seharga 4 sen 1 benggol (4,10 sen) dan era sekarang 1 bojok sebesar Rp 50.000,00 untuk beras standar/ istilah penduduk setempat disebut beras sembako. Sehingga penghasilan perhari waktu penjajahan Belanda masyarakat dapat memperoleh 8 kg beras sedangkan saat ini hanya sekitar 2 – 3,8 kg itupun hanya beras sembako.
Sistem irigasi sudah modern dengan dibangun bak penampung air dari sumber mata air grenjengan, terdapat banyak bak-bak tandon air yang saat ini tinggal 2 bak saja yaitu di sebelah timur dukuh Sukorame  atau sebelah barat dukuh Sampetan dan di tengah-tengah dukuh Sampetan, bak-bak lainnya sudah rusak era perang kemerdekaan. Saluran irigasi bagus dibangun parit-parit yang dibuat dari batu dan semen bahkan sampai jurang/ kali, untuk menghindari longsor dan erosi juga dibuatkan plesteran batu dan semen. Jalan dari lokasi perkebunan ke pabrik pengolahan produksi jalan-jalan sudah di aspal sehingga distribusi hasil pertanian dapat berjalan dengan lancar.
Pasca perang kemerdekaan terjadi perubahan besar-besaran di Desa Sampetan secara keseluruhan sistem pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan Demang selaku penguasa yang memimpin penduduk menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan banyak keluarga trah-trah Bangsawan yang menjadi tawanan Belanda dan penduduk waktu itu memiliki istilah populer yaitu ”di gondol londho”, sehingga para pejuang yang ditangkap Belanda akan mendapat sebutan gondol londho”.
Era Tahun 1945-1951 sistem pemerintahan sudah bukan milik Kasunanan Kartosuro, sekarang milik Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut ini bagan kepala Desa mulai tahun 1942-2011:
No
Kepala Desa
Tahun
1
Raden Demang Sastrodimejo
Masa penjajahan
2
Raden Demang Sumodirejo
3
Raden Singodimejo
4
Cokro Subroto
Masa ORBA

5
Parno
6
Priyo Hartoyo
7
Mawardi
8
Semin Hartono
Sekarang

Perang merusak segala tatanan yang telah teratur di Desa Sampetan Pabrik pengolahan teh dan kopi di Melambong, sekarang Pabrik textile Primayudha Ngadirojo dihancurkan. Kebun teh dan kebun kopi juga dijarah dan dihancurkan kemudian terjadi pemindahan kepemilikan dari milik onderneming Belanda menjadi ladang atau pekarangan milik penduduk. Jalan-jalan dan jembatan, saluran irigasi dihancurkan untuk menghalang-halangi agresi KNIL yang begitu kejam karena sebagian besar tentara Belanda adalah orang-orang Negro dan orang-orang India  Tamil yang dalam istilah penduduk disebut Londho Ireng. Pada saat Kepala Desa bapak Cokro Subroto, era kemerdekaan, terjadi pembagian tanah bekas perkebunan milik Belanda menjadi tanah milik rakyat.
Pembagian tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi dukuh-dukuh baru dan perkebunan-perkebunan menjadi ladang-ladang milik rakyat. Luas lahan pekarangan adalah 2.000 m2, sedangkan ladang satu bahu 6.000 m2.

B.     Pejuang-pejuang asal desa Sampetan (pahlawan nasional)
C.    Alih Guna Lahan
Era tahun + 1987-1989, penduduk di Dusun Cemorosewu, Dusun Baturejo, Dusun Sendang, Dusun Sukorame mengajukan ke Pemerintah pensertifikatan tanah hutan kawasan lereng gunung merbabu  masyarakat menyebut etan plang malang, yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM) dan tanah oro-oro untuk di sertifikatkan menjadi SHM. Atas permohonan warga penduduk, disetujui oleh Pemerintah dengan di bentuk Kepanitiaan Pensertifikatan Tanah Oro-oro dan Hutan Kawasan Lereng Gunung Merbabu menjadi pekarangan tempat tinggal dan lahan pertanian dengan pembagian lahan untuk pekarangan seluas 1500 m2, dan untuk ladang seluas 2.500 m2, biaya untuk pensertifikatan tanah sebesar Rp 800.000 (delapan ratus ribu rupiah), namun saat itu harga emas pergram sebesar + Rp 25.000,00 s/d Rp 30.000,00 jika pensertifikatan tanah tersebut dengan harga emas maka menjadi sebesar 32 gram atau 27,5 gram.
Biaya pensertifikatan tanah tahun 2010 untuk tanah letter C dan letter D sebesar + Rp1.500.000,00-Rp3.000.000,00 maka dapat dibayangkan apa yang menjadi penyebab mahalnya harga pensertifikatan tanah tersebut karena harga emas untuk  per 31 Juli 2010 adalah + Rp 250.000,00 sehingga jika diakumulasikan dengan harga emas maka biaya pensertifikatan tanah tersebut sebesar + Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah) dan atau Rp 6.875.000,00 (enam juta delapan ratus ribu tujuh puluh lima ribu rupiah).

PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR

Thursday 29 September 2011

Theravada Dan Mahayana

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar 


Sakyamuni Buddha (623-543 SM) lahir sebagai seorang Pangeran di Lumbini, Nepal. Beliau mencapai penerangan sempurna pada usia 35 tahun di Bodhi Gaya. Beliau membabarkan sebagian besar ajarannya di India Utara. Kumpulan semua ajaran-ajarannya dikenal dengan ajaran agama Buddha. Theravada1 dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca mencarinya sendiri. Pada jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul setelah Sang Buddha Parinibbana. 
Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2 Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda : Doktrin atau ajaran yang diuraikan oleh para bhikkhu yang lebih senior, disebut Theravada Tradisi atau ajaran yang tercakup dalam bahasa Sansekerta, yang dinamai oleh para penulisnya "Mahayana" atau "Kendaraan Besar". Perbedaan pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha Gotama dan mempraktekkan ajarannya. 

PENYEBARAN SECARA GEOGRAFIS 
Selama pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China) melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta. Selama lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini. Saat ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong, Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika. The World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali. Pada Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya, dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat. 

KITAB SUCI 
Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai Parinibbana. Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta. Secara umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica. Alasan lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran yang dianutnya. 

PENGHORMATAN dan PRAKTIK RITUAL 
Para penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet. Sedangkan Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar. Semangat bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand. Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal. Pali Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan setiap penganutnya. Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada. 

SIMBOL DAN JUBAH SUCI 
Semua Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca atau ketidakkekalan). Juga umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya. Kecuali genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana. Bhikhu-bhikkhu Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit). Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk. Bhikkhu-bhikkhu Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang, yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit kayu, kuning kemerahan atau merah hati. Di Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih. 

FILOSOFIS 
Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi. Sedangkan Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang. Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna , sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna. Untuk para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan. Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya. Pureland Buddhist (Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada kepercayaan dalam aliran Theravada. 

BHIKKHU DAN BHIKKHUNI 
Para bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana. Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh. Sebaliknya, Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan. Sejumlah sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Sebagian besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China, Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang. Dalam praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain, sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari. Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya. 

UMAT AWAM 
Di kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara yang sama, juga tidak dengan beranjali. Di dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat. Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat. Sesungguhnya, sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini. Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya. Sebagian besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu dari aliran mereka sendiri. Selain itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam tertentu tingkat ; Kadang-kadang, dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya. Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya. 

KESATUAN DAN SERASI 
Baik umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan jurang pemisah dalam pengetahuan kita. Para bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana. Tidak ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik, pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna Kebuddhaan. Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha. 

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN 
Dunia terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut. Jika kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha. Jika kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling menopang akan bertambah. Oleh karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik spiritual dan sosial. Resiko dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut. Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda. Sebagai akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja. Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya.. Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda sendiri. Kebesaran hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih, kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya. Sebagai umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya. Kita harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan teladan cinta kasih kepada dunia. Vietnam memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan saling menghargai. 

SARAN 

Dengan tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha, Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua makhluk. "samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan. Untuk melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet, Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk mempelajari agama Buddha Mahayana. Para Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari, mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini, setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan paraktiknya. Secara pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan saran-saran ini. Haruskah seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk mencapai tujuan itu. Memepelajari ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran. Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus menghormati dan menghargai orang lain. 

SIMPULAN 
Di satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana, dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan yang lainnya. Yang penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan Mahayana menerima; Empat Kesunyaaan Mulia Jalan Utama Berunsur Delapan Hukum Karma Meditasi Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada) Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda. Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan. Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama, apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3 Di zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama. Dengan cara ini, kita berharap dapat mengantarkan agama Buddha, sebagai ajaran Guru kita yang Maha Suci dan Maha kasih sayang, menuju persatuan dan kesatuan. 

[ Alih Bahasa : Dhana Putra, Editor : Nani Linda, SH. Judul Asli : The Similarities And Differences Between Theravada And Mahayana, by The Reverend Dr. Sunanda Putuwar. WFB Review 4th Edition - 1991.] di 12:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Buddhisme dan Ilmu, dasar agama Buddha, filsafat Buddha, Mahayana, Therawada, Vajrayana 

Reaksi: Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana Kirimkan Ini lewat Email Blog This! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar Sakyamuni Buddha (623-543 SM) lahir sebagai seorang Pangeran di Lumbini, Nepal. Beliau mencapai penerangan sempurna pada usia 35 tahun di Bodhi Gaya. Beliau membabarkan sebagian besar ajarannya di India Utara. Kumpulan semua ajaran-ajarannya dikenal dengan ajaran agama Buddha. Theravada1 dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca mencarinya sendiri. Pada jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul setelah Sang Buddha Parinibbana. Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2 Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda : Doktrin atau ajaran yang diuraikan oleh para bhikkhu yang lebih senior, disebut Theravada Tradisi atau ajaran yang tercakup dalam bahasa Sansekerta, yang dinamai oleh para penulisnya "Mahayana" atau "Kendaraan Besar". Perbedaan pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha Gotama dan mempraktekkan ajarannya. 

PENYEBARAN SECARA GEOGRAFIS 

Selama pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China) melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta. Selama lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini. Saat ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong, Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika. The World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali. Pada Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya, dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat. KITAB SUCI Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai Parinibbana. Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta. Secara umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica. Alasan lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran yang dianutnya. 

PENGHORMATAN dan PRAKTIK RITUAL 

Para penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet. Sedangkan Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar. Semangat bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand. Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal. Pali Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan setiap penganutnya. Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada. 

SIMBOL DAN JUBAH SUCI 

Semua Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca atau ketidakkekalan). Juga umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya. Kecuali genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana. Bhikhu-bhikkhu Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit). Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk. Bhikkhu-bhikkhu Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang, yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit kayu, kuning kemerahan atau merah hati. Di Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih. FILOSOFIS Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi. Sedangkan Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang. Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna , sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna. Untuk para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan. Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya. Pureland Buddhist (Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada kepercayaan dalam aliran Theravada. 

BHIKKHU DAN BHIKKHUNI 

Para bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana. Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh. Sebaliknya, Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan. Sejumlah sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Sebagian besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China, Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang. Dalam praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain, sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari. Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya. 

UMAT AWAM 

Di kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara yang sama, juga tidak dengan beranjali. Di dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat. Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat. Sesungguhnya, sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini. Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya. Sebagian besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu dari aliran mereka sendiri. Selain itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam tertentu tingkat ; Kadang-kadang, dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya. Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya. 

KESATUAN DAN SERASI 

Baik umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan jurang pemisah dalam pengetahuan kita. Para bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana. Tidak ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik, pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna Kebuddhaan. Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha. 

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN 

Dunia terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut. Jika kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha. Jika kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling menopang akan bertambah. Oleh karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik spiritual dan sosial. Resiko dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut. Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda. Sebagai akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja. Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya.. Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda sendiri. Kebesaran hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih, kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya. Sebagai umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya. Kita harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan teladan cinta kasih kepada dunia. Vietnam memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan saling menghargai. 

SARAN 

Dengan tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha, Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua makhluk. "samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan. Untuk melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet, Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk mempelajari agama Buddha Mahayana. Para Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari, mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini, setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan paraktiknya. Secara pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan saran-saran ini. Haruskah seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk mencapai tujuan itu. Memepelajari ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran. Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus menghormati dan menghargai orang lain. 

SIMPULAN 

Di satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana, dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan yang lainnya. Yang penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan Mahayana menerima; Empat Kesunyaaan Mulia Jalan Utama Berunsur Delapan Hukum Karma Meditasi Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada) Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda. Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan. Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama, apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3 Di zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama. Dengan cara ini, kita berharap dapat mengantarkan agama Buddha, sebagai ajaran Guru kita yang Maha Suci dan Maha kasih sayang, menuju persatuan dan kesatuan. 

[ Alih Bahasa : Dhana Putra, Editor : Nani Linda, SH. Judul Asli : The Similarities And Differences Between Theravada And Mahayana, by The Reverend Dr. Sunanda Putuwar. WFB Review 4th Edition - 1991.]
dikutip dari: artikel buddhis.blogspot.com

Tuesday 27 September 2011

KEPEMIMPINAN VISIONER DAN TRANSFORMASIONAL


KEPEMIMPINAN VISIONER DAN TRANSFORMASIONAL
Oleh: Lasino

A. Latar Belakang

Globalisasi menuntut manusia semakin maju dan berkembang untuk mengimbangi derasnya pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Dunia bisnis, birokrasi, pendidikan dan kesejahteraan akan semakin sulit mengimbanginya jika tidak mempunyai sesuatu yang lebih baru, dan inovatif. Dalam bidang ekonomi berbasis pendidikan, ide-ide inovatif dan capital intelektual merupakan kunci khusus dalam terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan persaingan global. Oleh karena itu., setiap perusahaan membutuhkan pekerja yang berpendidikan tinggi untuk mengimbangi segala kebutuhan perusahaan tersebut. Perusahaan juga membutuhkan pekerja memahami konsep-konsep baru, mengaplikasikan dan memadukan dengan konsep yang lainnya.
Refleksi dari keadaan ini harus segera ditangani oleh seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan. John P Kotter (dalam Sudjarwadi, 2003) menyebut empat penyebab utama yang memaksa organisasi untuk berubah. Keempat faktor tersebut adalah: perubahan teknologi, integrasi ekonomi internasional., kejenuhan pasar di negara-negara maju serta jatuhnya rezim komunis dan sosialis. Faktor-faktor ini merupakan indikasi awal dari sebuah perubahan zaman dengan mobilitas yang tinggi.
Pepatah lama mengatakan bahwa cara untuk memprediksi masa depan adalah dengan cara menciptakannya. Sampai saat ini, tidak banyak manajer yang berfikir mengenai masa depan walaupun ada, mereka melakukan dengan orientasi jangka pendek, contohnya merencanakan keuntungan perusahaan tahun depan. Kurangnya pemikiran strategis jangka panjang dapat berdampak pada perkembangan perusahaan karena tujuan-tujuan jangka pendek dan pembukaan pasar untuk mencapai keuntungan mungkin tidak akan bisa mengimbangi konsep dasar kekuasaan masa depan. Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara ideal dari seluruh aktivitas. Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental tentang sesuatu yang ingin dicapai di masa depan. Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun tertentu. Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mncanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan mememperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebut bahwa pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara makro pendidikan nasional berjalan membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu mlakukan inovasi dalm pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemapuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki sumber daya manusia yang sehat dan tangguh. Sedangkan secara mikro pendidikan nasional membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (maju, cakap, cerdas, inovatif, dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri. Mewujudkan tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan peran yang kuat dari seorang pemimpin lembaga pendidikan, dimana fungsi kepemimpinan tersebut merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, pinpinan lembaga yang dipimpin melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikannya. Globalisasi cenderung memberikan pengaruh yang penting terhadap sifat kepemimpinan dalam semua bidang kegiatan tidak terkecali bidang pendidikan. Sementara pemimpin lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyediakan kepemimpinan profesi yang efektif berkaitan dengan hal-hal pndidikan yang spesifik, termasuk proses belajar mengajar, dan juga menyediakan kepemimpinan organisasi yang efektif, mengacu kepada menajemen staf, sumber daya keuangan dan barang dan hubungan eksternal. Bagaiamanapun., pengakuan terhadap pentingnya kualitas kepemimpinan pada level lembaga kependidikan meningkat dengan tujuan untuk mencapai efektifitas lembaga pendidikan dan penelitian pengembangan yang dilakukan pada lingkungan lembaga pendidikan sebagai bagian pencapaian visi dan misi yang diemban oleh lembaga pendidikan iu sendiri.

Makalah ini, mencoba memamparkan konsep sistem pendidikan yang didasarkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranformasional serta upaya yang dilakukan untuk menuju pendidikan yang diharapkan berdasarkan kedua konsep kepemimpinan tesebut.
Pandangan terhadap pendidikan sebagai investasi secara mendasar berawal dari pandangan keluarga terhadap hal tersebut. Apabila keluarga telah meyakini bahwa pendidikan merupakan investasi maka mereka akan mempersiapkan anak-anak mereka dengan segala daya dukungannya untuk memperoleh pengalaman pendidikan secara optimal. Selain itu, dukungan dari para pelaku ekonomi yang memandang pendidikan sebagai investasi akan memberikan konstribusi terhadap terwujudnya program-program pendidikan dan latihan yang memungkinkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dari segi pengetahuan dan keterampilan, yang ada akhirnya meningkatkan penghasilan dan produktivitas baik pribadi maupun sosial, temasuk pada perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang memanfaatkan SDM hasil pendidikan.

B.      Kepemimpinan

1.    Pengertian Kepemimpinan
Bebagai pendapat dan definisi kepemimpinan muncul, sesuai dengan dari segi apa orang memandang segi kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan dapat diartikan sebagai sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administrative, dan presepsi lain-lain tentang legitimasi pengaruh (Wahjosumijo, 1999). Menurut Richad Hull (1999:135), Kepemipinan adalah kemapuan mempengaruhi pendapat, sikap dan perilaku orang lain. Hal ini berarti bahwa setiap orang mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan dapat berfungsi sebagai pemimpin. Kepemimpinan (leadership) merupakan proses yang harus ada dan perlu diadakan dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup bermasyarakat sesuai kodratnya bila mereka melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang lain. Hidup bermasyarakat memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat menentukan arah atau tujuan yang dikehendaki, dan dengan cara bagaimna arah atau tujuan tersebut dapat dicapai.
Kepemimpinan seseorang berperan berbagai pengerak dalam proses kerja sama antara manusia dalam organisasi termasuk sekolah. Untuk lebih jelas di bawah ini akan diuraikan mengenai pengertian tentang kepemimpinan. Menurut Paul Heresay dan Keneth H. Blanchard yand dikutip oleh Pandji Anoragan dalam bukunya Perilaku Keorganisasian, pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu “(Pandji Anoraga, 1995:186). Menurut Martin J. Gannon, sebagaimana dikutip oleh Pandji Anoraga, pemimpin adalah seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahannya” Sedangkan menurut Kartini Kartono (1998:84), pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian saran-saran tertentu.” Dari definisi di atas jelas bahwa, seorang pemimpin adalah orang yang memiliki posisi tertentu dalam hirarki organisasi. Ia harus membuat perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan serta keputusan efektif. Pemimpin selalu melibatkan orang lain, Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dimana ada pemimpin maka disana ada pengikut yang harus dapat mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan. Jadi kepemimpinan itu akan terjadi dalam situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain. Kepemimpinan seseorang berperan sebagai penggerak dalam proses kerja sama antar manusia dalam organisasi termasuk sekolah. Berdasarkan pemikiran ini, maka harus dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen. R.D. Agarwal sebagaimana dikutip Pandji Anoraga (1995:186)mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kemauan mereka”. Kemampuan dan usaha untuk mencapai tujuan pemimpin. Kepemimpinan menurut Hall digambarkan seperti suatu pemecahan yang sangat mudah terhadap gejala masalah dalam berorganisasi. Dengan kata lain tujuan kepemimpinan adalah mempengaruhi organisasi lain, dalam hal ini karyawan atau bawahan untuk mencapai misi perusahaan/organisasi.
Kemampauan untuk mempengaruhi orang lain merupakan inti dari kepemimpinan sedang untuk mempengaruhi orang lain, pemimpin perlu mengetahui beberapa strategi antara lain : (a) Menggunakan fakta dan data untuk mengemukakan dan alasan yang logis, (b) Besikap bersahabat dan mendukung upaya yang ada dalam perusahaan, (c) Memobilisasi atau mengaktifkan orng lain untuk melaksanakan pekerjaan, (d) melakukan negosiasi, (e) Menggunakan pendekatan langsung dan kalau terpaksa menggunakan kedudukan lebih tinggi dalam organisasi, dan (f) memberikan sanksi dan hukuman terhadap perilaku yang menyimpang. Sehubungan dengan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa, kemampuan meminpin dan ketaatan pada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan yang ditunjukkan kepada pemimpin itu sendiri.
Agar tidak terdapat kesalahpahaman dalam membicarakan tentang kepemimpinan, maka tidak dapat dilepas dari perilaku dan gaya kepemimpinan, ini merupakan suplemen untuk melihat hakikat kepemimpinan itu sendiri; dimana dalam penelitian ini akan mengulas tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan kepala sekolah. Pada dasarnya para pemimpin menerapkan “pertama, otokratis (otoriter) adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentuakan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pemimpin semata-mata. Atau dengan kata lain pemimpin-pemimpin yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa, ciri kepemimpinan gaya otoriter tersebut adalah memberikan instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, bawahan tidak dapat mempengaruhi keputusan pemimpin, bawahan tidak memberikan saran.
2.    Sifat Kepemimpinan
Sehubungan dengan kedudukan dan peranan kepemimpinan yang strategis, maka agar kepemipinan yang bersangkutan mampu bekerja secara maksimal sangatlah dibutuhkan sifat-sifat atau kemampuan tertentu dari diri pemimpin yang bersangkutan. Iskandar menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: memiliki empati yang tinggi; merupakan anggota dari kelompok; penuh pertimbangan, kebijaksanaan dan arif; lincah dan bergembira, baik dalam suka maupun duka; memiliki emosi yang stabil; memiliki keinginan dan ambisi untuk memimpin; memiliki kompetensi; memiliki intelegensi yang cukup; konsisten dan sikapnya dapat diramalkan; memiliki kemampuan untuk berbagi kepentingan dengan anggota yang lain (Iskandar Jusman, 1999) Seorang pemimpin harus menjadi pusat komunikasi, untuk dapat menyampaikan pikiran dan keinginannya kepada sekitarnya, namun juga sensitive/peka untuk menerima semua informasi dari lingkungannya. Sebab, jika seorang pemimpin mau memaksakan pikiran dan ide-ide sendiri saja, dan tidak peka terhadap isyarat-isyarat yang diberikan oleh lingkungan, maka tidak ubahnya dia itu bertingkah laku sebagai pemain orkes tunggal yang diktatoris dan otokratis. Dan pemimpin yang seperti itu menganggap dirinya paling super dalam segala hal. Dia dihormati lingkungannya, mengikuti sesama dan para pengikutnya pandai dalam bertimbang rasa, selau bersikap rendah hati, luwes, terbuka dan reseptif tanpa dibebani perasaan-perasaan superior yang bisa membuat dirinya menjadi angkuh dan sewenang-wenang terhadap lingkungannya.
3.    Tipe-tipe dan Pendekatan Kepemimpinan

Sebagian (1999:27) mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan yaitu :
a.       Tipe Otokratik. Kepemimpinan itu berdasarkan dirinya pada kekuasaan paksaan yang selalu harus dipatuhi. Pemimpinnya harus berperan sebagai pemain tunggal pada “a one man show”.
b.      Tipe Paternalistic, yaitu tipe gaya kebapaan, dengan sifat-sifat antara lain: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa; besikap selalu melindungi; jarang memberikan kesempatan pada bawahannya untuk mengambil keputusan sendiri; hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreatifnya; mersa dirinya tahu segalanya.
c.       Tipe Laissez Faire, yaitu seorang pemimpin yang praktis tidak memimpin, sebab dia membiarkan kelompoknya berbuat semaunya.
d.      Tipe Demokratik, yaitu pemimpin yang memberikan bimbingan yang efisien kepada bawahannya, dengan penekanan rasa tanggung jawab internal dan kebijakan yang baik.

4.    Kepemimipinan Pendidikan
Seperti telah diuraikan di atas, kepemimpinan adalah merupakan proses kegiatan membingbing dan mempengaruhi hubungan aktivitas-aktivitas pekerjaan dari suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Tampak disini bahwa ada tiga butir implikasi yang sangat penting diperhatikan, yaitu, 1) adanya bawahaan atau pengikut, 2) adanya distribusi, 3) adanya pengaruh atasan kepada bawahaan. Dengan menyebut kepemimpinan kepal sekolah maka akan tampak cirri-ciri khas kepemimpinan dari kepala sekolah. Cirri-ciri khas tersebut meliputi adanya faktor layanan, bimbingan, mendidik, mengemong terhadap guru-guru oada sekolah yang dipimpnnya. Kepemimpinan kependidikan sendiri didefinisikan sebagai satu kemampuan dan proses mempengaruhi, membingbing, mengkoordinasi, dan menggerakan orang lain yang ada hubungan drngan pengembangkan ilmu pendidikan, dan pelaksanaan pendidikan dan mengajar agar kegiatan-kegiatan dijalankan lebih efisien dan efektif didalam pencapaian tujuan “pendidikan dan pengajaran” (Sukarto . 1984:45) kepla sekolah/Sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepla sekolah mempunyai peranan dan fungsi yang penting dalam pelaksanaan program pedidikan sekolah. Bagaimanakah jenis kepemimpinan yang diperlukan sekolah saat ini ? Menurut Sutisna (1983:277) “jenis kepemimpinan institusional” hal ini dimaksudkan bahwa kepemimpinan seperti ini bisa menjawab tantangan yang berhubungan dengan pembaharuan pendidikan yang sedang dijalankan pemerintah. Lebih lanjut ia mengemukakan, bahwa kepala sekolah lebih dari seorang manajer organisasi, tetapi ia terlibat dalam penentuan tujuan, cara maupun proses. Ia menjalankan peranan yang bertanggung jawab dalam perumusan maupun pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan di sekolah.
Bertolak dari uraian di atas, maka kepemimpinan kepala sekolah yang dimaksud adalah perilaku kepala sekolah dalam melaksanakan pengarahan, pengawasan, pemberian motivasi kepada guru, serta berkomunikasi dengan guru dalam melaksnakan tugas menurut persepsi mereka. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dimensi dan indikator persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut (1) interpretasi atau pemahaman guru terhadap kepemimpinan kepela sekolah, meliputi: pendapat guru terhadap kepemimpinan, kemauan diri dalam memimpin, berhubungan dan berkomunikasi dengan guru serta peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian berarti, kepala sekolah harus berusaha memaksimalkan kepemimpinannya guna mempengaruhi para guru untuk melakukan usaha dengan keras dan antusias dalam mencapai tujuan sekolah. Dengan kata lain guru besedia menggunakan kemampuan dan profesionalisasi daam bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan loyalitas yang tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang diharapkan.
C.      Kepemimpinan Transformasional

Bangsa ini perlu di arahkan oleh suatu kepemimpinan transformasional,yaitu suaktu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan akan mampu mengajak publik untuk secara teguh menghadapi tujuan-tujuan yang lebih hakiki ketimbang sekadar pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin transformasional untuk secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan. Pemimpin transformasional merupakan modifikasi dari pemimpin karismatik. dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik, namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin trasformasional, pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan system nilai ketimbang loyalitas personal (Huges 2001). Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin transformasional memberikan kontribusi subtantif dengan keberhasilan mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Namun penting untuk disadari bahwa tmpilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instant, namun melalui penitian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.
Perhatian peran kepeminpianan di dalam proses manajemen perubahan mulai muncul, pada waktu orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yangselama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan angggapan orang bahwa perubahan itu justru untuk menjadikan tempat kerja itu menjadi lebih manusiawi, sehingga dalam merumuskan proses perubahan biasanya dipergunakan pendekatan transformasional dimana lingkungan kerja yang pratisatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan, dianggap sebagai proses yang melatar belakangi proses tersebut. Namun di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang bersifat teknikal, dimana manusia cendrung dipandang sebagai entiti ekonomik yang siap diamanipulasikan dengan menggunakan system imbalan dan umpan balik negative, dalam rangka mencapai manfaat ekonomis yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avilio, 1990; Hatter dan Basss, 1988 di dalam Yull 1994). Sementara Burns (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinngi.
Dengan demikian pemimpin transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahnya akan tata nilai yang memiliki orde lebih tinggi, seperti kebebasan, keadilan, dan kebersamaan. Pemimpin disebut tranformasional diukur dalam hubungan dengan rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaaan, dan hormat para pengikut terjhadap pemimpin tersebut. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: [1] membuat mereka lebih sadar akan pentingnya suatu pekerjaan, [2] mendorong mereka lebih mendahlukan organisai atau tim dari pada kepentingan dirinya, dan [3] mengaktifkan kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Kepemimpinan tranformatif meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nila-nilai seperti, keadilan (justice), kedamaian (peace) dan persamaan (equality) (Sarros dan Satonsa, 2001). Tipe leadership ini mendorong para pengikutnya (individu-individu dalam satu institusi) untuk menghabiskan upaya ekstra dan mencapai apa yang mereka anggap mungkin (Arnold, Barling dan Kelloway, 2001). Transformasional leadership terdiri dari individualized consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan idealized infulence (Sarros dan Santosa, 2001; Pounder, 2003).
Idealized influence atau charisma. Para pemimpin menyediakan visi dan pengertian terhadap misi, memasukan kebanggan, memperoleh rasa hormat, kepercayan dan meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan kegairahan dan dan menginspirasi para bawahannya. Sub-dimensi ini mengukur tingkat kekaguman dan kebanggan para pengikutnya.
Individualiced onsideration. Para leader memberiakan peltihan dan menotoring, menyediakan umpn balik berkeseinbungan dan menghubungkan kebutuhan anggota organisasi ke misi organisasi. Subdimensi merupakan suatu alat ukur terhadap tingakat yang mana pemimpin memperhatikan apa yang menyadari concern dan kebutuhan yang berkaitan dengan pengembengang para indiviu pengikutnya.
Inspiirtioanl motivational. Pemimpin bertindak sebagai sbuah model atau contoh (keteleadanaan) bagi para bawahanya, mengkomunikasi visi dan menggunkan symbol-symbol untuk mengfokuskan upaya-upaya yang dilakukan. Sub-dimensi ini mengukkur kemampuan pemimpin untuk menumbuhkan kepercayan (corfidence) terhadap visi dan nilai-nilai pemimpin.
Inteelctuall situmultion . para pemimpin menstimulsi pengikutnya untuk memikirkan kembali cara atu metode kerja yang lama dan menilai kembali nilai-nilai dan keprcayaan merka yang lama. Dimensi ini berkenan denggan derajad dimana para pengikutnya disediakan tugas-tugas yang menentang dan didorong untuk memecahkan masalah dengn cara mereka sendiri. Kemudian pounder (2001; dalam Pounder, 2003) me-merinfe aspek tranformasional leadership yang dinyatakan secara implist pada aspek aslinya menjadi: inspirational motivation, integrity, innovation, impression management, individual consideration, dan intellectual stimulation. Pounder (2001; dalam 2003) memperlus sub-dimensi idealized influence dengan menambahkan tiga sub-dimensi lainnya, yaitu : (a) Integriti pemimpin “work the talk”, mereka menyelaraskan perbuatan dengan perkataannya. Dimensi ini mengukur tingkat mana para pengkutnya mempersepsikan derajat kesesuaian yang tinggi antar perkataan dan yang diekspresikan dengan perbuatannya.
Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan yang ada dan proses dengan pengmbilan resiko dan mengeksperimenkannya. Para pemimpin mendorong para bawahnya untuk mengmbil resiko dan bereksperimen dan memperluaskan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar dari pada diperlakukan sebagai celaan. Sub-dimensi ini fokus pada tingkat yang mana meminpin membutuhkan sebuah komitmen inovasi organisasi.
Imreesion management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi kebutuhan personal dan berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah orang “yang memberi” yang teliti untuk memberi selamat kepada keberhasilan bawahannya dan orang yang hangat dan perhatian terhadap bawahan tidak dibatasi pada kehidupan kerja mereka. Sub-dimensi ini mengukur tingkatan mana anggota organisasi mempersiapkan bahwa pemimpin mereka sebagai prinadi dibandingkan sekedar intrumen pemimpin atau misi organisasi.

1.    Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Akan Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, sehingga dapat diartikan kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa penelitian dihubungkan dengan kepemimpin, dimana kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja dari bawahanya. Podsakof et.al (1996), menunjukkan bahwa “kepemimpinan tranformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan tranformasional mempunyai pengaruh signifikan dengan kepuasan akan kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan transformasional mempunyai pengruh signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja .

2.    Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi.
Secara orgnisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya memulai perilaku kepemimpinan, seperti yang dikemukakan oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa “selain kepemimpinan tranformasional, hal lain yang penting dalam perilaku oganisasional adalah komitmen organisasi. Dalam tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam mempelajari manajemen dan perilaku organisasi”. Dalam kesempatan yang sama Yousef (2000) menggunakan bahwa terhadap hubungan secara positif antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen organisasi. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan tranformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi.

3.    Kepemimpinan Tranformasional dan Perubahan
Kepemimpinan tranformasional dikhtisarkan oleh penyataan Tichy dan Ulrich, yaitu: “Apabila manjer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar menbedakan pemimpin transformasional dengan transaksional.”
Tranformasional diasosiasikan dengan inspirasi dan visi, kerjasama dan partipasi yang enerjik, rekanan dan transformasi perasaan sikap dan kepercayaan pengikut. Dengan penekanan pada pemeliharaan hubungan, kesatuan nilai dan tujuan dan pengembangan budaya institusional (Sechin, 1985). Bass & Avolio (1994) menyimpulkan karakteristik kepemimpinan transforamasional dalam hal, sebagai berikut;
• pengaruh ideal (pemimpin sebagai penentuan)
• Motivasi Inspirasional .
• Rangsangan Intelectual.
• Pertimbangan Individual (pemimpin sebagai pelatih dan mentor)

Penerimaan poin kebijaksanaan ditunjukkan untuk menimbulkan kepemimpinanan transformasional. Berdasarkan kepemimpinan transformasional sebagai model yang umum, tingkah laku global pemimpin telah dikemukakan dan dikaitkan dengan hasil positif. Bagaimanapun, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu:
• Kepemimpinan tranformasional (bertentangan dengan konotasi etis yang dipertimbangan oleh Burns) telah menjadi alat manipulasi manajerial, ketimbang sarana untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya dan memberi semangat kepada yang lain (Allix, 2000);
• Konstuksi dari teori yang sangat abstrak sangat sulit untuk diperjelas melalui penelitian empiris

4.    Lingkup Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih dari pada model pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi, meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan tetapi bagian dari salah satu pendekatan diman situasi transisi yang yang membuka ruang publik terlibat di dalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks organisasional oleh Benard Bass. Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses prtukaran (exchange process) diman para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarah organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah ada sebelumnya. Para pemain secara rill harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transfomasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan lain memetovasi para bawhan agar bersedia kerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu.
Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara memperaktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupkan cermin dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan ndividu, dan oreantasi stimulasi intelektual. Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni charisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon. Hal-hal yang kecil dalam masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya, juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengangkat sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan hasil kajian literature yang dilakukan, Nortthouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menmpilkan kepemimpinnan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikan dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di lembaga pendidikannya. karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin tranformasinal yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sungguh-sungguh yang bersangkutan, Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
a.    Berdayakan seluruh bawahannya untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi.
b.    Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
c.     Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
d.    Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
e.    Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
f.     Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi

5.    Pengambilan Keputusan
Para pengambil keputusan hampir selalu membuat keputusan, bahkan setiap detik dari hidupnya. Ketika mereka mengambil keputusan, ada satu proses yang terjadi pada otak manusia yang akan menentukan kualitas keputusan yang dibuat (Permadi 1992). Ketika keputusan yang akan dibuat sederhana, seperti memilih warna baju, manusia dapat dengan mudah membuat keputusan. Namun ketika keputusan yang akan diambil bersifat kompleks dengan resiko yang besar seperti perumusan kebijakan, pengambilan keputusan sering memerlukan alat bantu dalam bentuk analisis yang bersifat ilmiah, logis dan terstruktur/konsisten. Salah satu alat analisis tersebut adalah berupa decision making model (model pembuatan keputusan) yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk masalah yang bersifat kompleks. Faktor alam, politik, budaya, sosial ekonomi, religi sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena bersifat eksternal. Tidak jarang pengambilan keputusan dipengauhi dan ditekan oleh beberapa faktor tadi. Ambil kasus, misalnya kebijakan UU pornograpfi yang dipengaruhi oleh faktor religi atau kebijakan SKB 4 menteri tentang upah buruh yang dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, dan ekonomi. Beberapa kebijakan yang diambil merupakan hasil perumusan masalah dan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas.
Manusia merupakan bagian dari alam, yang hidupnya tidak lepas dari alam. Bila pada proses kehidupan manusia sejak diciptakan merupakan unsur yang semakin lama semakin mendominasi atas unsur-unsur lainnya dari alam, maka hal itu tidak lain karena manusia dibekali dengan kemampuan-kemampuan untuk bisa berkembang demikian. Segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya dirasakannya dan diamatinya dengan menggunakan semua indera yang dimilkinya, dipikirkannya, lalu ia bertindak. Dalam menghadapi segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya, hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan melaksanakan, ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya; sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam mebuat keputusan. Proses sejak identifikasi masalah sampai pemilihan solusi terbaik inilah yang disebut pengambilan keputusan (Putro dan Tjakraatmadja, 1998). Jika keputusan yang diambil tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain atau prosesnya memerlukan pihak lain, maka perlu untuk diungkapkan sasaran yang akan dicapai berikut kronologi proses kengambilan keputusannya (Mangkusubroto dan Tresandi, 1987). Proses pengambilan keputusan di dalam kehidupan organisasi adalah suatu proses yang selalu terjadi, dimana hal ini merupakan denyut nadi jalannya organisasi tersebut (Sudirman, 1998).
Dari beberapa definisi pengambilan keputusan yang ditemukan, dapat dirangkum bahwa pengambilan keputusan dalam suatu organisasi merupakan hasil suatu proses komunikasi dan partisipasi yang terus menerus dari keseluruhan organisasi. Hasil keputusan tersebut dapat merupakan pernyataan yang disetujui antar alternatif atau antar prosedur untuk mencapai tujuan tertentu. Pendekatannya dapat dilakukan, baik melalui pendekatan yang bersifat individual atau kelompok, sentralisasi atau desentralisasi, partsipasi/tidak berpartisipasi, maupun demokratis atau kosensus (Suryadi dan Ramdhani, 1998). Persoalan pengambilan keputusan, pada dasarrnya adalah bentuk pemilihan dari beberapa alternatif tindakan yang mungkin dipilih, yang prosesnya melalui mekanisme tertentu, dengan harapan akan menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik. Penyusunan model keputusan adalah suatu cara untuk mengembangkan hubungan-hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model matematis, yang mencerminkan hubungan yang terjadi diantara faktor-faktor yang terlibat.

D.      Kualitas Pendidikan

1.    Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN. 2003, pasal 1, ayat 1). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan berupaya menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi-kempetensi yang bermanfaat bagi kehidupan melalui penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran. Kompetensi-kompetensi yang ingin diwujudkan melalui pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, tingkat persaingan antar individu dan antar bangsa menjadikan kompetensi sumber daya manusia menjadi faktor yang semakin menentukan dalam situasi kehidupan masyarakat global dewasa ini. Pendidikan merupakan usaha memberikan pelayanan bagi setiap warganya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan investasi karena penyelenggaraanya memerlukan dana yang tidak sedikit oleh karena itu lembaga penyelenggara pendidikan harus memikirkan efisiensi dan efektivitas dalam pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi suatu yang sangat diperlukan agar out put dari suatu proses pendidikan dapat benar-benar mampu menghadapi kehidupan nyata di masyarakat. Dalam hubungan ini, lembaga pendidikan sekolah dituntut untuk mampu memelihara dan meningkatkan proses pendidikan secara efektif dan efisien serta dapat terus memperbaiki kualitas lulusannya agar mampu berperan dalam membangun masyarakat.

2.    Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan
Dengan mengingat pentingnya bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya untuk menyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis sehingga proses yang terjadi di dalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, dalam hubungan ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena dilembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan berbagai keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan sekolah yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan masyarakat yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan masyarakat, adapun fungsi-fungsi sekolah adalah (Morris. et al. 1962 : 113) :
o School give opporatunity for self-development and social mobility
o School develop the individual’s competence as a worker, citizen, and parent
o School contribute to the economic growth of a society
o School help to solve pressing social problem
Fungsi-fungsi tersebut, sebagai pemikiran yang diungkap lebih dari empat puluh tahun lalu, nampaknya perlu diperluas mengingat perkembangan jaman yang sangat cepat serta kompleksiatas masalah. Sekolah dewasa ini perlu terus memikirkan posisinya kembali dalam masyarakat, perubahan yang terjadi juga telah menyebabkan tuntutan akan pendidikan terus meningkat, mendidik anak/siswa di sekolah bukan suatu fase yang terputus, tapi harus merupakan kontribusi dinamis bagi perkembangan menjadi manusia pembelajar. Sekolah tidak hanya mengajari anak dengan menambah penguasaan materi pelajaran saja, tapi juga perlu membina mereka menjadi pemikir yang dalam dan mampu menganalisa serta menerapkan pengetahuannya dalam memecahkan masalah-masalah nyata kehidupan, disamping itu kemampuan siswa bekerja secara kolaboratif, perlu terus dikembangkan, mengingat sekarang telah mengarah pada makin perlunya networking dalam kehidupan masyarakat, semua ini akibat dari globalisasi.
3.    Sekolah Sebagai Suatu Sistem Sosial
Sebagai suatu sistem, sekolah terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi dan bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsinya guna mencapai tujun-tujan pendidikan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas pencapaiannya, menurut Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel, (2001:23) unsur-unsur kunci dari suatu sistem sosial sekolah sebagai oragnisasi formal dalah struktur, individu, budaya, dan politik. Sebagai suatu sistem sosial organisasi sekolah merupakan organisasi yang berfungsi melakukan transformasi input menjadi output. Dalam proses tersebut terdapat faktor yang saling berpengaruh yaitu faktor struktur, faktor individu, faktor politik, serta faktor budaya. Dengan demikian dalam melihat suatu organisasi sekolah telah nampaknya diperlukan cara berpikir sistemik mengingat masin-masing subsistem di dalamnya mempunyai pengaruh pada proses transformasi yang terjadi, dan proses ini akan menentukan kualitas output yang dihasilkan sekolah.

4.    Kualitas Pendidikan
L.C. Solmon dalam tulisan yang berjudul The Quality Of Education (Psacharopaulos, 1987 : 253) menyatakan bahwa untuk memahami kualitas pendidikan dari sudut pandang ekonomi diperlukan pertimbangan tentang bagaimana kulitas itu diukur. Dalam hubungan ini terdapat beberapa sudut pandang dalam mengukur kualitas pendidikan yaitu:
Ø Pandangan yang menggunakan pengukuran pada hasil pendidikan (sekolah atau College)
Ø Pandangan yang melihat pada proses pendidikan

Pendekatan teori ekonomi yang menekankan pada akibat positif pada siswa atau pada penerima manfaat pendidikan lainnya yang diberikan oleh institusi dan atau program pendidikan
Sudut pandang tersebut diatas, masing-masing punya kelemahannya sendiri-sendiri, namun demikian pengukuran di atas tetap perlu dalam melihat masalah kualitas pendidikan, yang jelas diakui bahwa masalah peningkatan kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah sebagaimana diungkapkan oleh Stanley J. Spanbauer (1992:49) “Quality improvement in education should not be viewed as a “quick fix process”. It is a long term effort which require organizational change and restructuring”. Ini berarti bahwa banyak aspek yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, dan suatu pandangan komprehensif mengenai kualitas pendidikan merupakan hal yang penting dalam memetakan kondisi pendidikan secara utuh, meskipun dalam tataran praktis, titik tekan dalam melihat kualitas berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan suatu kajian atau tinjauan. Kualitas pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dia merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan mempunyai kontinum dari rendah ke tinggi berkedudukan sebagai suatu variabel,dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, variabel kualitas pendidikan dapat dipandang sebagai variabel bebeas yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya. Edward Salis (2006 : 30-31) menyatakan: “ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal, sumber daya yang melimpah, aplikasi telnologi yang mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajara anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut“. Pernyataan ini menunjukan banyakna sumber mutu dalam bidang pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu kulitas pendidikaan, atau faktor yang mempengaruhi kulitas pendidikan.
Dalam hubungan dengan faktor berpengaruh pada kulitas pendidikan, hasil studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004 : 60) menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, menajemen sekolah, sarana fisik dan pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidilkan di sekolah menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenuhi kulitas dan prestasi belajar, dimana kulitas dan prestasi belajar pada dasarnya menggambarkan kulitas pendidikan.
Sementara itu Nanang Fatah (2000 : 90) mengemukakan upaya peningkatan mutu dan perluasan pendidikan membutuhkan sekurang-kurangnya tiga faktor utama yaitu; (1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti kulitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar; (2) proses belajar mengajar yang mendorong siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap keterampilan, dan nilai-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu proses belajar mengajar, dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan biaya yang dibutuhkan dan professional kependidikan dapat disediakan di sekolah.
Dalam bidang kependidikan, yang termasuk input dalam konteks pengukuran kualitas hasil pendidikan adalah siswa dengan seluruh karakteristik personal serta biaya yang harus dikorbakan untuk memperoleh pendidikan/mengikuti sekolah, dan komponen yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah sebagai suatu institusi adalah guru dan SDM lainnya, kurikulum dan bahan ajar, metode pembelajaran, sarana pendidikan, sistem administrasi, sementara yang masuk dalam komponen output adalah hasil proses pembelajaran yang dapat menggambarkan kulitas pendidikan.

E.       Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan

1.    Standar Kompetensi Pendidkan
Di dalam PP 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar yang menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kulitas pendidikan, Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar yang menjadi kriteria minimal tersebut yaitu:
1. Standar isi
2. Standar Proses
3. Standar Kompetensi lulusan
4. Standar pendidiikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta perdaban bangsa dan bermartabat (PP 19/25 Pasal 4) Standar isi berkaitan dengan kurikulum yang akan diajarkan pada siswa, dalam hubungan ini kurikulum yang dipakai untuk dilaksanakan dilingkungan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan kepmen No 22 tahun 2006 adalah KTSP yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Untuk lulusan telah diterbitkan Kepmen no. 23 tahun 2006 yang berisi tentang Standar Kompetensi Lulusan, dengan adanya standar ini, maka segala aktivitas dan proses pendidikan yang terjadi di sekolah harus mengacu pada standar kompetensi lulusan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan guru sehagai pendidik telah hadir Undang-Undang No. 14 tahun 2005, yang pada dasarnya menggambarkan standar tenaga pendidik. Dalam PP No 19 tahun 2005 pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi yang harus dimiliki pendidik (Guru) adalah a) Kompetensi Pedagogik; b) kompetensi kepribadian; c) kompetensi professional, dan d) kompetensi sosial (PP No 19 tahun 2005 pasal 28 ayat 3).
Untuk lebih memahami makna masing-masing kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005.
a.         Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi:
o Pemahaman terhadap peserta didik
o Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
o Evaluasi hasil belajar
o Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.        Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bewibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c.         Kompetensi professional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan BSNP.
d.        Kompetensi sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik/guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

2.    Sertifikasi Mutu Pendidikan
Sertifikasi merupakan proses pemberian sertifikat. Ini berarti bahwa sertifikasi di dasarkan pada suatu kriteria atau standar tertentu yang telah ditetapkan. Dengan demikian sertifikasi mutu pendidikan bermakna proses pemberian sertifikat berkaitan dengan kualitas pendidikan. Dalam bidang mutu secara umum, terdapat lembaga yang memberikan sertifikasi seperti ISO, dimana bidang pendidikanpun dapat memperolehnya sesudah melalui proses tertentu. Sementara itu dalam konteks Indonesia Badan Akreditasi dapat dipandang sebagai lembaga yang melakukan sertifikasi, dalam arti memberikan peringkat pada lembaga pendidikan bekaitan dengan penyelenggaraan pendidikan apakah dapat memenuhi standar yang telah ditentukan atau belum. Secara teoritis diakui bahwa kualitas pendidikan sebagai suatu profesi dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan yang telah ditentukan, dalam hubungan ini sertifikasi pendidik menjadi salah satu cara untuk melihat keprofesionalan tenaga pendidik. Berkaitan dengan tenaga pendidik, sertifikasi menjadi dasar dalam menentukan keprofesionalan Guru/Dosen. Mereka harus punya sertifikat pendidik sebagai bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Menurut UU No 14 tahun 2005 pasal 11 disebutkan sebagai berikut :
a)        Sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang tekah memenuhi persyaratan.
b)        Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetepkan oleh pemerintah.
c)         Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
d)        Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

3.    Sosialisasi Manajemen Mutu dan Penjaminan Mutu
Masalah mutu dalam era sekarang ini merupakan masalah berkaitan dengan hidup dan matinya suatu organisasi terutama organisasi bisnis, oleh karena itu tidaklah berlebihan jika Rene T Domingo menulis buku berjudul Quality Means Survival (1997), artinya kualitas bermakna kehidupan. Untuk itu upaya untuk menjadikan organisasi bertahan, masalah kualitas harus menjadi perhatian, dan oleh karenanya makna penjaminan kualitas menjadi satu keharusan untuk diterapkan dalam suatu organisasi dalam kerangka Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Mangjement). Oleh karena itu dalam dunia pendidikan pun masalah kualitas harus menjadi konsern bersama, mengingat masih diperlukan upaya yang serius guna meningkatkan kualitas pendidikan serta persaingan global dalam bidang pendidikan yang menunjukkan kecenderumgan makin meningkatkan baik level nasional maupun level global, ini terlihat makin banyaknya promosi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dari Negara lain.
Namun demikian dalam kenyataan, perhatian dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan kualitas manajemen kualitas pendidikan. Untuk itu dalam melakukan sosialisasi dapat dilakukan melalui pendekatan difusi inovasi.

F.       Pembahasan
Human Investmen menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasikan literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadiah Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago. Amaerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikkannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orng yang memiliki pendidikan lebih tinggi semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Konsep investasi sumber daya manusia dapat dilihat dari tiga butir penting, yaitu education for all, education for self-help dan retrun on investment (ROI). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan mempunyai efek ganda dalam kehidupan manusia. Segala aspek yang ada dalam kehidupan manusia harus berpedoman pada pendidikan jika menginginkan kehidupan yang layak. Manusia mencari banyak cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Konsep dasar manusia di segala jaman adalah pencarian hidup perkembangan dalam menghasilkan prinsip, jawaban, proses prosedur, atau cara memperoleh tujuan dalam hidup. Proses pelaksanaan pendidikan dan latihan merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan manusia terhadap produktivitas yang lebih baik merupakan jaminan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Sebab produktivitas kerja yang lebih baik akan terwujud melalui pendidikan dan latihan. Bentuk pendidikan melalui sekolah merupakan bentuk human investmen yang lebih komprehensif. Artinya, manusia terdidik akan memilikin multifungsi dan kemauan lebih dalam menghadapi perubahan dunia yang semakin cepat. Andai seluruh manusia dalam sebuah bangsa memiliki, maka otomatis bangsa tersebut akan maju dan menjadi yang terdepan.
Pemerintahan pada saat ini belum berhasil merumuskan model pendidikan seperti apakah yang sesuai di Indonesia. Pendidikan di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita founding Father yang termaktub dalam mukadimah UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah ke depan, agar pendekatan sumber daya mnusia di bidang pendidikan dapat terlaksana dengan lancar. Dari data survei sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Stasistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan perguruan tinggi memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD. Hal ini berarti pemerataan pendidikan dan pembiayaan pendidikan di Negara kita masih jauh dari harapan konsep, Human Investment yang mengedepankan kemampuan manusia dalam memajukan bamgsa dengan media pendidikan.
Fenomena yang tak kalah menarik di dalam masyarakat adalah mengenai pemerataan pendidikan. Secara kuantitatif, fenomena ini kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi. Kecendrungan lain yang muncul di Negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi tanpa memperhatikan kualitas pendidikan. Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya sudah mendarah daging. Akan tetapi hal ini dapat dikaji dengan melihat faktor-faktor masalahnya terlebih dahulu. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelengaraan sistem pendidikan, Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelengaraan pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, dan sebagainya. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, system pendidikan di Indonesia juga menglami masalah-masalah cabang, antara lain: Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kulitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dengan kebutuhan, Mahalnya biaya pendidikan.
Kepemimpinan tetap selalu menjadi isu sentral di berbagai jenis organisasi baik di organisasi bisnis, perusahaan, ataupun lembaga pendidikan. Interaksi antar manusia dalam dunia pendidikan merupakan kunci utama yang harus di pegang seorang pemimpin lembaga pendidikan. Kenapa demikian?, karena salah satu tugas utama seorang pemimpin pendidikan beroreantasi pada manusia yang seimbang dengan pencapaian visi dan misi lembaga pendidikannya. Yaitu: [1] menetapkan dan mengupayakan tercapainya tujuan pendidikan atau disebut task oriented, dan [2] memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya atau human oriented. Konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern haruslah yang memilki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki semangat, nilai–nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak diantaranya yang releven sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Barta, atau delapan ajaran keutamaan, seperti ditunjukkan oleh sifat-sifat alam. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tolodo , ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengndung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku disegala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu niali bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinan-nya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Dominasi era global telah membuat para penyelengaraan pendidikan terjebak dalam perasaan ketidakpastian dengan sistem saat ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuaan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetensi dan perubahan yang begitu massif dan cepat. Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan sekedar relevansi antar content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi lebih mengarah pada apa yang harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi dimensi pedagogies-didaktif (antara lain: teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat pembelajaran dan lainnya) dengan trend budaya global. Sehingga lembaga pendidikan harus mampu menyelesaikan perubahan ”Globalisasi yang diterjemahkan melalui definisi “globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau”mensejagat” sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan apanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia baik berupa ide, gagasan, data, informasi, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia, hal ini biasanya banyak terjdi di lingkungan pendidikan dan berpeluang mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya”. Globalisasi perlu dicermati dengan memperhatikan akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperative berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melkukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksitensinya di jaman yang berat seperti sekarang. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekedar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan dimasa mendatang.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner serta kurang disadari visi yang jelas. Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap penerang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai sutau proses “membujuk” orang-orang lain menuju sasaranan bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen, yakni:
1. Kepemimpinan merupakan sutu konsep relasi (relation concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gradner menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin
3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, retruktursasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya. Sebagai kesimpulan akhir konsep kepemimpinan dalam pendidikan selain memanfaatkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranrsformasional juga diperlukan menajemen partisipatif dari semua elemen organisasi dengan berorientasi pada tugas pokok pendidkan dan tugas pokok pengelolaan pelembagaan. Pentingnya berorientasi pada manusia, tidak lepas dari mekanisme manajemaen partisipatif dimana “anak buah” diajak untuk berpatisipasi dalam pencapaian tujuan lembaga pendidikan. Karena baginya, “keuntungannya manajemen partsipatif adalah motivasi dan moral kerja diperbaiki, rasa memiliki dan tanggung jawab ditingkatkan, melancarkan komunikasi timbala balik, keputusan yang diambil memiliki tingkat akseptibilitas yang tinggi, dan pelaksanaan keputusan biasanya lebih lancar“.
Disamping seorang pemimpin pendidikan, sebuah lembaga pendidikan hendaknya juga mempunyai seorang manajer lembaga pendidikan. Berbeda dengan pemimpin pendidikan, seorang manajer pendidikan lebih terfokus pada pengaturan mekanisme bergulirnya sebuah lembaga pendidikan. Mulai dari mengurusi bagian administrasi, keuangan, personalia, bagian umum, hingga masalah kehumasan. “Sebagai seorang pemimpin, kita diharapkan membawa visi, misi, filosofi dan nilai-nilai agar bisa dicapai. Pemimpin pendidikan lebih berperan untuk memberi inspirasi, dukungan, pemahaman, kepercayaan, keteladanaan, dan pengaruh. Sedangkan manajer membawa lembaga pendidikan supaya menjadi wealth creating instititution. Manajer pendidikan lebih berurusan dengan bagaimana menyelenggarakan lembaga secara efektif dan efisien,“ ungkapnya. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa pemimpin dan manajer lembaga pendidikan dapat dipegang oleh satu orang
. Perananan kepemimpinan tersebut dapat digambarkan dengan mempertimbangkan keseluruhan elemen organisasai yang digerakkan oleh kepemimipinan yang dimiliki oleh pimpinanan tersebut untuk mencapai keunggulan organisasi dalam bersaing dalam melayani keinginan pemakai jasa pelayanan pendidikan.

G.     Simpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sangat dekat denagan kesuksesan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Kepemimpinan akan sangat mewarnai, mempengaruhi bahkan menentukan bagaiman perjalanan suatu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Agar pemimpin dapat memotivasi anak buah dengan lebih muda, diperlukan kemampuan menunjukan “makna” pekerjaan yang akan dilkukan dan menunjukan “keuntungan” yang akan diraih.
2.    Lembaga pendidikan adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena lembaga pendidikan sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena lemabaga pendidikan memiliki karakter tersendiri, dimana proses terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, lembaga pendidikan sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. “Keberhasilan lembaga pendidikan adalah keberhasilan pemimpin lembaga pendidikan.” Secara sederhana pemimpin lembaga pendidikan dapat didefenisikan sebagai seorang tenaga fungsional tenaga pendidikan dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadinya interaksi antara tenaga kependidikan yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Pemimpin lembaga pendidikan dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para peserta didik.
3.    Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan tranformasional ternyata dapat lebih menunjukan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikanmya. Karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentangan yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan. Maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin sadar dan sungguh-sungguh dari yang bersangkutan. Nothouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transfrmasional, yakni sebagai berikut:
a.    Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
b.    Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
c.     Dengarkanlah semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
d.    Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
e.    Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh sebagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
f.     Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
4.    Strategi yang dikembangkan untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan anatara lain adalah standar Kompeyensi Pendidikan, Sertifikasi Mutu Pendidikan, Sosialisasi, Manajemen Mutu Dan Penjaminan Mutu.
5.    Pengaruh-pengaruh kelompok dalam pengambilan keputusan transformasional visioner datang dari kompenen itu sendiri, yaitu;
a)    Tujuan interdisipliner
b)   Analisa Lingkungan
c)    Sistem Proses
d)   Informasi
e)   Memperhitungkan faktor-faktor ketidaksamaan
f)     Diarahkan pada tindakan nyata
6.    Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin terhadap pendidikan di Indonesia saat ini belumlah memenuhi kesejahteraan publik. Parahnya lagi kebijakan tersebut tidak berpijak pada visi ke depan. Alhasil, kebijakan yang ada hanyalah sebatas ketentuan biasa yang instan. Contohnya, setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, maka kurikulum pun diubah.


DAFTAR PUSTAKA
Allix, N. (2000) ‘Tranformational Leadership: democratic or despotic?’, Educational
Management & Administration, 28 (1), hal. 7-20.
Bass, B.M & Avolio, B.J (1994) Improving Organizational Effectivess through Transformational Leadership, Thousand Oaks, CA: Sage.
Gibson, J. L. 1979. Organization, Behavior, Structures, Process. Business Publishing Company, Dallas.
Hasbullah. (1999). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Heyting, m. (19880. ‘Leadership in professionally stafed organization, in Glatter, R. et al (eds.) Understanding School Management, Milton Keynes: Open University Press.
Janis, LL. Dan Mann, l. (1977). Decision Making. New York; McMillan Publishing.
Law, S. & Glover, D. (2001) Education Leadership and Learning, Buckingnam: Open University Press.
Natawidjaja, R, Sukmadinata, N. S. Ibrahim, R. dan Djohar, A. (2007). Rujukan Filsafat, Teori, dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung: Univertas Pendidikan Indonesia Press.
Saaty, T. L. dan Vergas, L. G. (1994). Decision Making In Economic, Poltical, Social, and Technological Environment with the Analytic Hierarchi Process. Pittsburgh: RWS Publications.
Schein, E, (1985). Organizational Culture and Leaderdhip. San Francisco: Jossry-Bass.
Siagian, Sondang P. (2008). Pengantar Fisafat Pendidikan. Bandung; Percikan Ilmu.
Stogdill, R. M. (1974). Hanbook of Leadership, New York: The Free Press.
Tannembaum, R. 1961. Leadership and Organization. New York: McGraw-Hill.
Vroom, V. H. dan A. G. Jago. 1988. The New Leadership. Managing Participation in Orgaization. New Jersey: Prentice Hall, Englewood.
Yeoh, Michael. (1995). Vision Leadership: Values and Dtrategis Towards Vision 2020. Selangor: Pelanduk Publication.
Yukl, G. (2001) Leadership in Organisation, Englewood Cliffs: Prentince-Hall. 

PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR

Chat

CHATT