informasi cari disini

Thursday, 29 September 2011

Theravada Dan Mahayana

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar 


Sakyamuni Buddha (623-543 SM) lahir sebagai seorang Pangeran di Lumbini, Nepal. Beliau mencapai penerangan sempurna pada usia 35 tahun di Bodhi Gaya. Beliau membabarkan sebagian besar ajarannya di India Utara. Kumpulan semua ajaran-ajarannya dikenal dengan ajaran agama Buddha. Theravada1 dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca mencarinya sendiri. Pada jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul setelah Sang Buddha Parinibbana. 
Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2 Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda : Doktrin atau ajaran yang diuraikan oleh para bhikkhu yang lebih senior, disebut Theravada Tradisi atau ajaran yang tercakup dalam bahasa Sansekerta, yang dinamai oleh para penulisnya "Mahayana" atau "Kendaraan Besar". Perbedaan pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha Gotama dan mempraktekkan ajarannya. 

PENYEBARAN SECARA GEOGRAFIS 
Selama pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China) melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta. Selama lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini. Saat ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong, Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika. The World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali. Pada Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya, dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat. 

KITAB SUCI 
Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai Parinibbana. Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta. Secara umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica. Alasan lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran yang dianutnya. 

PENGHORMATAN dan PRAKTIK RITUAL 
Para penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet. Sedangkan Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar. Semangat bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand. Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal. Pali Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan setiap penganutnya. Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada. 

SIMBOL DAN JUBAH SUCI 
Semua Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca atau ketidakkekalan). Juga umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya. Kecuali genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana. Bhikhu-bhikkhu Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit). Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk. Bhikkhu-bhikkhu Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang, yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit kayu, kuning kemerahan atau merah hati. Di Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih. 

FILOSOFIS 
Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi. Sedangkan Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang. Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna , sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna. Untuk para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan. Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya. Pureland Buddhist (Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada kepercayaan dalam aliran Theravada. 

BHIKKHU DAN BHIKKHUNI 
Para bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana. Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh. Sebaliknya, Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan. Sejumlah sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Sebagian besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China, Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang. Dalam praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain, sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari. Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya. 

UMAT AWAM 
Di kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara yang sama, juga tidak dengan beranjali. Di dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat. Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat. Sesungguhnya, sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini. Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya. Sebagian besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu dari aliran mereka sendiri. Selain itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam tertentu tingkat ; Kadang-kadang, dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya. Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya. 

KESATUAN DAN SERASI 
Baik umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan jurang pemisah dalam pengetahuan kita. Para bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana. Tidak ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik, pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna Kebuddhaan. Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha. 

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN 
Dunia terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut. Jika kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha. Jika kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling menopang akan bertambah. Oleh karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik spiritual dan sosial. Resiko dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut. Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda. Sebagai akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja. Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya.. Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda sendiri. Kebesaran hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih, kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya. Sebagai umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya. Kita harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan teladan cinta kasih kepada dunia. Vietnam memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan saling menghargai. 

SARAN 

Dengan tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha, Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua makhluk. "samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan. Untuk melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet, Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk mempelajari agama Buddha Mahayana. Para Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari, mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini, setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan paraktiknya. Secara pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan saran-saran ini. Haruskah seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk mencapai tujuan itu. Memepelajari ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran. Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus menghormati dan menghargai orang lain. 

SIMPULAN 
Di satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana, dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan yang lainnya. Yang penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan Mahayana menerima; Empat Kesunyaaan Mulia Jalan Utama Berunsur Delapan Hukum Karma Meditasi Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada) Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda. Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan. Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama, apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3 Di zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama. Dengan cara ini, kita berharap dapat mengantarkan agama Buddha, sebagai ajaran Guru kita yang Maha Suci dan Maha kasih sayang, menuju persatuan dan kesatuan. 

[ Alih Bahasa : Dhana Putra, Editor : Nani Linda, SH. Judul Asli : The Similarities And Differences Between Theravada And Mahayana, by The Reverend Dr. Sunanda Putuwar. WFB Review 4th Edition - 1991.] di 12:00 0 komentar Link ke posting ini Label: Buddhisme dan Ilmu, dasar agama Buddha, filsafat Buddha, Mahayana, Therawada, Vajrayana 

Reaksi: Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana Kirimkan Ini lewat Email Blog This! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar Sakyamuni Buddha (623-543 SM) lahir sebagai seorang Pangeran di Lumbini, Nepal. Beliau mencapai penerangan sempurna pada usia 35 tahun di Bodhi Gaya. Beliau membabarkan sebagian besar ajarannya di India Utara. Kumpulan semua ajaran-ajarannya dikenal dengan ajaran agama Buddha. Theravada1 dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca mencarinya sendiri. Pada jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul setelah Sang Buddha Parinibbana. Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2 Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda : Doktrin atau ajaran yang diuraikan oleh para bhikkhu yang lebih senior, disebut Theravada Tradisi atau ajaran yang tercakup dalam bahasa Sansekerta, yang dinamai oleh para penulisnya "Mahayana" atau "Kendaraan Besar". Perbedaan pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha Gotama dan mempraktekkan ajarannya. 

PENYEBARAN SECARA GEOGRAFIS 

Selama pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China) melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta. Selama lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini. Saat ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong, Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika. The World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali. Pada Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya, dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat. KITAB SUCI Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai Parinibbana. Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta. Secara umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica. Alasan lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran yang dianutnya. 

PENGHORMATAN dan PRAKTIK RITUAL 

Para penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet. Sedangkan Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar. Semangat bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand. Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal. Pali Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan setiap penganutnya. Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada. 

SIMBOL DAN JUBAH SUCI 

Semua Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca atau ketidakkekalan). Juga umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya. Kecuali genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana. Bhikhu-bhikkhu Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit). Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk. Bhikkhu-bhikkhu Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang, yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit kayu, kuning kemerahan atau merah hati. Di Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih. FILOSOFIS Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi. Sedangkan Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang. Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna , sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna. Untuk para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan. Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya. Pureland Buddhist (Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada kepercayaan dalam aliran Theravada. 

BHIKKHU DAN BHIKKHUNI 

Para bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana. Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh. Sebaliknya, Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan. Sejumlah sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Sebagian besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China, Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang. Dalam praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain, sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari. Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya. 

UMAT AWAM 

Di kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara yang sama, juga tidak dengan beranjali. Di dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat. Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat. Sesungguhnya, sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini. Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya. Sebagian besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu dari aliran mereka sendiri. Selain itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam tertentu tingkat ; Kadang-kadang, dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya. Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya. 

KESATUAN DAN SERASI 

Baik umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan jurang pemisah dalam pengetahuan kita. Para bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana. Tidak ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik, pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna Kebuddhaan. Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha. 

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN 

Dunia terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut. Jika kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha. Jika kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling menopang akan bertambah. Oleh karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik spiritual dan sosial. Resiko dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut. Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda. Sebagai akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja. Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya.. Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda sendiri. Kebesaran hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih, kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya. Sebagai umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya. Kita harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan teladan cinta kasih kepada dunia. Vietnam memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan saling menghargai. 

SARAN 

Dengan tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha, Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua makhluk. "samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan. Untuk melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet, Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk mempelajari agama Buddha Mahayana. Para Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari, mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini, setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan paraktiknya. Secara pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan saran-saran ini. Haruskah seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk mencapai tujuan itu. Memepelajari ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran. Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus menghormati dan menghargai orang lain. 

SIMPULAN 

Di satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana, dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan yang lainnya. Yang penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan Mahayana menerima; Empat Kesunyaaan Mulia Jalan Utama Berunsur Delapan Hukum Karma Meditasi Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada) Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda. Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan. Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama, apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3 Di zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama. Dengan cara ini, kita berharap dapat mengantarkan agama Buddha, sebagai ajaran Guru kita yang Maha Suci dan Maha kasih sayang, menuju persatuan dan kesatuan. 

[ Alih Bahasa : Dhana Putra, Editor : Nani Linda, SH. Judul Asli : The Similarities And Differences Between Theravada And Mahayana, by The Reverend Dr. Sunanda Putuwar. WFB Review 4th Edition - 1991.]
dikutip dari: artikel buddhis.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Chat

CHATT