KEPEMIMPINAN
VISIONER DAN TRANSFORMASIONAL
Oleh: Lasino
A. Latar Belakang
Globalisasi menuntut manusia semakin maju dan berkembang untuk mengimbangi derasnya pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Dunia bisnis, birokrasi, pendidikan dan kesejahteraan akan semakin sulit mengimbanginya jika tidak mempunyai sesuatu yang lebih baru, dan inovatif. Dalam bidang ekonomi berbasis pendidikan, ide-ide inovatif dan capital intelektual merupakan kunci khusus dalam terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan persaingan global. Oleh karena itu., setiap perusahaan membutuhkan pekerja yang berpendidikan tinggi untuk mengimbangi segala kebutuhan perusahaan tersebut. Perusahaan juga membutuhkan pekerja memahami konsep-konsep baru, mengaplikasikan dan memadukan dengan konsep yang lainnya. Refleksi dari keadaan ini harus segera ditangani oleh seorang pemimpin yang mempunyai visi kedepan. John P Kotter (dalam Sudjarwadi, 2003) menyebut empat penyebab utama yang memaksa organisasi untuk berubah. Keempat faktor tersebut adalah: perubahan teknologi, integrasi ekonomi internasional., kejenuhan pasar di negara-negara maju serta jatuhnya rezim komunis dan sosialis. Faktor-faktor ini merupakan indikasi awal dari sebuah perubahan zaman dengan mobilitas yang tinggi.
Pepatah lama mengatakan bahwa cara untuk memprediksi masa depan adalah dengan
cara menciptakannya. Sampai saat ini, tidak banyak manajer yang berfikir
mengenai masa depan walaupun ada, mereka melakukan dengan orientasi jangka
pendek, contohnya merencanakan keuntungan perusahaan tahun depan. Kurangnya
pemikiran strategis jangka panjang dapat berdampak pada perkembangan perusahaan
karena tujuan-tujuan jangka pendek dan pembukaan pasar untuk mencapai
keuntungan mungkin tidak akan bisa mengimbangi konsep dasar kekuasaan masa
depan. Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara
ideal dari seluruh aktivitas. Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental
tentang sesuatu yang ingin dicapai di masa depan. Visi adalah wawasan ke depan
yang ingin dicapai dalam kurun tertentu. Perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana
ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan
tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga
pendidikan dan tenaga pendidik dari mncanegara masuk ke Indonesia. Untuk
menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus meningkatkan
mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan mememperbaiki manajemen
pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Dalam
Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebut
bahwa pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Secara makro pendidikan nasional berjalan
membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu mlakukan
inovasi dalm pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu
menggunakan nalar, berkemapuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki
sumber daya manusia yang sehat dan tangguh. Sedangkan secara mikro pendidikan
nasional membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar
(maju, cakap, cerdas, inovatif, dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi
sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan
berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri. Mewujudkan tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan peran yang kuat dari
seorang pemimpin lembaga pendidikan, dimana fungsi kepemimpinan tersebut
merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk
mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, pinpinan
lembaga yang dipimpin melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan
pendidikannya. Globalisasi cenderung memberikan pengaruh yang penting terhadap
sifat kepemimpinan dalam semua bidang kegiatan tidak terkecali bidang
pendidikan. Sementara pemimpin lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab yang
besar dalam menyediakan kepemimpinan profesi yang efektif berkaitan dengan
hal-hal pndidikan yang spesifik, termasuk proses belajar mengajar, dan juga
menyediakan kepemimpinan organisasi yang efektif, mengacu kepada menajemen
staf, sumber daya keuangan dan barang dan hubungan eksternal. Bagaiamanapun., pengakuan terhadap pentingnya kualitas kepemimpinan pada
level lembaga kependidikan meningkat dengan tujuan untuk mencapai efektifitas
lembaga pendidikan dan penelitian pengembangan yang dilakukan pada lingkungan
lembaga pendidikan sebagai bagian pencapaian visi dan misi yang diemban oleh
lembaga pendidikan iu sendiri.
Makalah ini, mencoba memamparkan konsep sistem pendidikan yang didasarkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranformasional serta upaya yang dilakukan untuk menuju pendidikan yang diharapkan berdasarkan kedua konsep kepemimpinan tesebut. Pandangan terhadap pendidikan sebagai investasi secara mendasar berawal dari pandangan keluarga terhadap hal tersebut. Apabila keluarga telah meyakini bahwa pendidikan merupakan investasi maka mereka akan mempersiapkan anak-anak mereka dengan segala daya dukungannya untuk memperoleh pengalaman pendidikan secara optimal. Selain itu, dukungan dari para pelaku ekonomi yang memandang pendidikan sebagai investasi akan memberikan konstribusi terhadap terwujudnya program-program pendidikan dan latihan yang memungkinkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dari segi pengetahuan dan keterampilan, yang ada akhirnya meningkatkan penghasilan dan produktivitas baik pribadi maupun sosial, temasuk pada perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang memanfaatkan SDM hasil pendidikan.
B. Kepemimpinan
1.
Pengertian
Kepemimpinan
Bebagai pendapat dan
definisi kepemimpinan muncul, sesuai dengan dari segi apa orang memandang segi
kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan dapat diartikan sebagai sifat-sifat,
perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan
kerja sama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administrative, dan
presepsi lain-lain tentang legitimasi pengaruh (Wahjosumijo, 1999). Menurut
Richad Hull (1999:135), Kepemipinan adalah kemapuan mempengaruhi pendapat,
sikap dan perilaku orang lain. Hal ini berarti bahwa setiap orang mampu
mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan dapat
berfungsi sebagai pemimpin. Kepemimpinan (leadership) merupakan proses yang
harus ada dan perlu diadakan dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial.
Manusia tidak dapat hidup bermasyarakat sesuai kodratnya bila mereka melepaskan
diri dari ketergantungannya pada orang lain. Hidup bermasyarakat memerlukan
pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat menentukan arah atau tujuan yang
dikehendaki, dan dengan cara bagaimna arah atau tujuan tersebut dapat dicapai.
Kepemimpinan seseorang
berperan berbagai pengerak dalam proses kerja sama antara manusia dalam
organisasi termasuk sekolah. Untuk lebih jelas di bawah ini akan diuraikan
mengenai pengertian tentang kepemimpinan. Menurut Paul Heresay dan Keneth H.
Blanchard yand dikutip oleh Pandji Anoragan dalam bukunya Perilaku
Keorganisasian, pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu
atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu “(Pandji
Anoraga, 1995:186). Menurut Martin J. Gannon, sebagaimana dikutip oleh Pandji
Anoraga, pemimpin adalah seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahannya”
Sedangkan menurut Kartini Kartono (1998:84), pemimpin adalah pribadi yang
memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat
mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah
pada pencapaian saran-saran tertentu.” Dari definisi di atas
jelas bahwa, seorang pemimpin adalah orang yang memiliki posisi tertentu dalam
hirarki organisasi. Ia harus membuat perencanaan, pengorganisasian dan
pengawasan serta keputusan efektif. Pemimpin selalu melibatkan orang lain, Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa dimana ada pemimpin maka disana ada pengikut
yang harus dapat mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan. Jadi
kepemimpinan itu akan terjadi dalam situasi tertentu seseorang mempengaruhi
perilaku orang lain. Kepemimpinan seseorang berperan sebagai penggerak dalam
proses kerja sama antar manusia dalam organisasi termasuk sekolah. Berdasarkan
pemikiran ini, maka harus dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen. R.D.
Agarwal sebagaimana dikutip Pandji Anoraga (1995:186)mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah “seni mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan kemauan
mereka”. Kemampuan dan usaha untuk mencapai tujuan pemimpin. Kepemimpinan
menurut Hall digambarkan seperti suatu pemecahan yang sangat mudah terhadap
gejala masalah dalam berorganisasi. Dengan kata lain tujuan kepemimpinan adalah
mempengaruhi organisasi lain, dalam hal ini karyawan atau bawahan untuk
mencapai misi perusahaan/organisasi.
Kemampauan untuk mempengaruhi orang lain merupakan inti dari kepemimpinan sedang untuk mempengaruhi orang lain, pemimpin perlu mengetahui beberapa strategi antara lain : (a) Menggunakan fakta dan data untuk mengemukakan dan alasan yang logis, (b) Besikap bersahabat dan mendukung upaya yang ada dalam perusahaan, (c) Memobilisasi atau mengaktifkan orng lain untuk melaksanakan pekerjaan, (d) melakukan negosiasi, (e) Menggunakan pendekatan langsung dan kalau terpaksa menggunakan kedudukan lebih tinggi dalam organisasi, dan (f) memberikan sanksi dan hukuman terhadap perilaku yang menyimpang. Sehubungan dengan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa, kemampuan meminpin dan ketaatan pada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan yang ditunjukkan kepada pemimpin itu sendiri. Agar tidak terdapat kesalahpahaman dalam membicarakan tentang kepemimpinan, maka tidak dapat dilepas dari perilaku dan gaya kepemimpinan, ini merupakan suplemen untuk melihat hakikat kepemimpinan itu sendiri; dimana dalam penelitian ini akan mengulas tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan kepala sekolah. Pada dasarnya para pemimpin menerapkan “pertama, otokratis (otoriter) adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentuakan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pemimpin semata-mata. Atau dengan kata lain pemimpin-pemimpin yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa, ciri kepemimpinan gaya otoriter tersebut adalah memberikan instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, bawahan tidak dapat mempengaruhi keputusan pemimpin, bawahan tidak memberikan saran.
Kemampauan untuk mempengaruhi orang lain merupakan inti dari kepemimpinan sedang untuk mempengaruhi orang lain, pemimpin perlu mengetahui beberapa strategi antara lain : (a) Menggunakan fakta dan data untuk mengemukakan dan alasan yang logis, (b) Besikap bersahabat dan mendukung upaya yang ada dalam perusahaan, (c) Memobilisasi atau mengaktifkan orng lain untuk melaksanakan pekerjaan, (d) melakukan negosiasi, (e) Menggunakan pendekatan langsung dan kalau terpaksa menggunakan kedudukan lebih tinggi dalam organisasi, dan (f) memberikan sanksi dan hukuman terhadap perilaku yang menyimpang. Sehubungan dengan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa, kemampuan meminpin dan ketaatan pada pemimpin lebih banyak didasarkan pada gaya kepemimpinan yang ditunjukkan kepada pemimpin itu sendiri. Agar tidak terdapat kesalahpahaman dalam membicarakan tentang kepemimpinan, maka tidak dapat dilepas dari perilaku dan gaya kepemimpinan, ini merupakan suplemen untuk melihat hakikat kepemimpinan itu sendiri; dimana dalam penelitian ini akan mengulas tentang kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Dengan mengetahui perilaku dan gaya kepemimpinan kepala sekolah akan dapat diuraikan tentang hakikat kepemimpinan kepala sekolah. Pada dasarnya para pemimpin menerapkan “pertama, otokratis (otoriter) adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentuakan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pemimpin semata-mata. Atau dengan kata lain pemimpin-pemimpin yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemberi perintah dan mengharuskan orang lain mematuhinya. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa, ciri kepemimpinan gaya otoriter tersebut adalah memberikan instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, bawahan tidak dapat mempengaruhi keputusan pemimpin, bawahan tidak memberikan saran.
2.
Sifat
Kepemimpinan
Sehubungan dengan
kedudukan dan peranan kepemimpinan yang strategis, maka agar kepemipinan yang
bersangkutan mampu bekerja secara maksimal sangatlah dibutuhkan sifat-sifat atau
kemampuan tertentu dari diri pemimpin yang bersangkutan. Iskandar menyebutkan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu: memiliki empati
yang tinggi; merupakan anggota dari kelompok; penuh pertimbangan, kebijaksanaan
dan arif; lincah dan bergembira, baik dalam suka maupun duka; memiliki emosi
yang stabil; memiliki keinginan dan ambisi untuk memimpin; memiliki kompetensi;
memiliki intelegensi yang cukup; konsisten dan sikapnya dapat diramalkan;
memiliki kemampuan untuk berbagi kepentingan dengan anggota yang lain (Iskandar
Jusman, 1999) Seorang pemimpin harus menjadi pusat komunikasi, untuk
dapat menyampaikan pikiran dan keinginannya kepada sekitarnya, namun juga
sensitive/peka untuk menerima semua informasi dari lingkungannya. Sebab, jika
seorang pemimpin mau memaksakan pikiran dan ide-ide sendiri saja, dan tidak
peka terhadap isyarat-isyarat yang diberikan oleh lingkungan, maka tidak
ubahnya dia itu bertingkah laku sebagai pemain orkes tunggal yang diktatoris
dan otokratis. Dan pemimpin yang seperti itu menganggap dirinya paling super
dalam segala hal. Dia dihormati lingkungannya, mengikuti sesama dan para
pengikutnya pandai dalam bertimbang rasa, selau bersikap rendah hati, luwes,
terbuka dan reseptif tanpa dibebani perasaan-perasaan superior yang bisa
membuat dirinya menjadi angkuh dan sewenang-wenang terhadap lingkungannya.
3.
Tipe-tipe dan
Pendekatan Kepemimpinan
Sebagian (1999:27) mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan yaitu :
a. Tipe
Otokratik. Kepemimpinan itu berdasarkan dirinya pada kekuasaan paksaan yang
selalu harus dipatuhi. Pemimpinnya harus berperan sebagai pemain tunggal pada
“a one man show”.
b.
Tipe Paternalistic, yaitu tipe gaya kebapaan, dengan
sifat-sifat antara lain: menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum
dewasa; besikap selalu melindungi; jarang memberikan kesempatan pada bawahannya
untuk mengambil keputusan sendiri; hampir tidak pernah memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreatifnya; mersa dirinya tahu
segalanya.
c.
Tipe Laissez Faire, yaitu seorang pemimpin yang
praktis tidak memimpin, sebab dia membiarkan kelompoknya berbuat semaunya.
d.
Tipe Demokratik, yaitu pemimpin yang memberikan
bimbingan yang efisien kepada bawahannya, dengan penekanan rasa tanggung jawab
internal dan kebijakan yang baik.
4.
Kepemimipinan
Pendidikan
Seperti telah
diuraikan di atas, kepemimpinan adalah merupakan proses kegiatan membingbing
dan mempengaruhi hubungan aktivitas-aktivitas pekerjaan dari suatu kelompok
sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan. Tampak disini
bahwa ada tiga butir implikasi yang sangat penting diperhatikan, yaitu, 1)
adanya bawahaan atau pengikut, 2) adanya distribusi, 3) adanya pengaruh atasan
kepada bawahaan. Dengan menyebut kepemimpinan kepal sekolah maka akan tampak
cirri-ciri khas kepemimpinan dari kepala sekolah. Cirri-ciri khas tersebut
meliputi adanya faktor layanan, bimbingan, mendidik, mengemong terhadap
guru-guru oada sekolah yang dipimpnnya. Kepemimpinan
kependidikan sendiri didefinisikan sebagai satu kemampuan dan proses
mempengaruhi, membingbing, mengkoordinasi, dan menggerakan orang lain yang ada
hubungan drngan pengembangkan ilmu pendidikan, dan pelaksanaan pendidikan dan
mengajar agar kegiatan-kegiatan dijalankan lebih efisien dan efektif didalam
pencapaian tujuan “pendidikan dan pengajaran” (Sukarto . 1984:45) kepla
sekolah/Sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepla sekolah mempunyai peranan
dan fungsi yang penting dalam pelaksanaan program pedidikan sekolah. Bagaimanakah jenis kepemimpinan yang diperlukan sekolah saat ini ? Menurut
Sutisna (1983:277) “jenis kepemimpinan institusional” hal ini dimaksudkan bahwa
kepemimpinan seperti ini bisa menjawab tantangan yang berhubungan dengan
pembaharuan pendidikan yang sedang dijalankan pemerintah. Lebih lanjut ia
mengemukakan, bahwa kepala sekolah lebih dari seorang manajer organisasi,
tetapi ia terlibat dalam penentuan tujuan, cara maupun proses. Ia menjalankan
peranan yang bertanggung jawab dalam perumusan maupun pelaksanaan kebijaksanaan
pendidikan di sekolah.
Bertolak dari uraian di atas, maka kepemimpinan kepala sekolah yang dimaksud adalah perilaku kepala sekolah dalam melaksanakan pengarahan, pengawasan, pemberian motivasi kepada guru, serta berkomunikasi dengan guru dalam melaksnakan tugas menurut persepsi mereka. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dimensi dan indikator persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut (1) interpretasi atau pemahaman guru terhadap kepemimpinan kepela sekolah, meliputi: pendapat guru terhadap kepemimpinan, kemauan diri dalam memimpin, berhubungan dan berkomunikasi dengan guru serta peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian berarti, kepala sekolah harus berusaha memaksimalkan kepemimpinannya guna mempengaruhi para guru untuk melakukan usaha dengan keras dan antusias dalam mencapai tujuan sekolah. Dengan kata lain guru besedia menggunakan kemampuan dan profesionalisasi daam bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan loyalitas yang tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang diharapkan.
Bertolak dari uraian di atas, maka kepemimpinan kepala sekolah yang dimaksud adalah perilaku kepala sekolah dalam melaksanakan pengarahan, pengawasan, pemberian motivasi kepada guru, serta berkomunikasi dengan guru dalam melaksnakan tugas menurut persepsi mereka. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dimensi dan indikator persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah, sebagai berikut (1) interpretasi atau pemahaman guru terhadap kepemimpinan kepela sekolah, meliputi: pendapat guru terhadap kepemimpinan, kemauan diri dalam memimpin, berhubungan dan berkomunikasi dengan guru serta peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian berarti, kepala sekolah harus berusaha memaksimalkan kepemimpinannya guna mempengaruhi para guru untuk melakukan usaha dengan keras dan antusias dalam mencapai tujuan sekolah. Dengan kata lain guru besedia menggunakan kemampuan dan profesionalisasi daam bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sehingga dengan loyalitas yang tinggi didapatkan kualitas pendidikan yang diharapkan.
C.
Kepemimpinan
Transformasional
Bangsa ini perlu di arahkan oleh suatu kepemimpinan transformasional,yaitu suaktu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan akan mampu mengajak publik untuk secara teguh menghadapi tujuan-tujuan yang lebih hakiki ketimbang sekadar pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin transformasional untuk secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan. Pemimpin transformasional merupakan modifikasi dari pemimpin karismatik. dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik, namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin trasformasional, pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan system nilai ketimbang loyalitas personal (Huges 2001). Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin transformasional memberikan kontribusi subtantif dengan keberhasilan mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Namun penting untuk disadari bahwa tmpilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instant, namun melalui penitian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku. Perhatian peran kepeminpianan di dalam proses manajemen perubahan mulai muncul, pada waktu orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yangselama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan angggapan orang bahwa perubahan itu justru untuk menjadikan tempat kerja itu menjadi lebih manusiawi, sehingga dalam merumuskan proses perubahan biasanya dipergunakan pendekatan transformasional dimana lingkungan kerja yang pratisatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan, dianggap sebagai proses yang melatar belakangi proses tersebut. Namun di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang bersifat teknikal, dimana manusia cendrung dipandang sebagai entiti ekonomik yang siap diamanipulasikan dengan menggunakan system imbalan dan umpan balik negative, dalam rangka mencapai manfaat ekonomis yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avilio, 1990; Hatter dan Basss, 1988 di dalam Yull 1994). Sementara Burns (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinngi.
Dengan demikian pemimpin transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahnya akan tata nilai yang memiliki orde lebih tinggi, seperti kebebasan, keadilan, dan kebersamaan. Pemimpin disebut tranformasional diukur dalam hubungan dengan rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaaan, dan hormat para pengikut terjhadap pemimpin tersebut. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: [1] membuat mereka lebih sadar akan pentingnya suatu pekerjaan, [2] mendorong mereka lebih mendahlukan organisai atau tim dari pada kepentingan dirinya, dan [3] mengaktifkan kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Kepemimpinan tranformatif meningkatkan kesadaran para pengikutnya dengan menarik cita-cita dan nila-nilai seperti, keadilan (justice), kedamaian (peace) dan persamaan (equality) (Sarros dan Satonsa, 2001). Tipe leadership ini mendorong para pengikutnya (individu-individu dalam satu institusi) untuk menghabiskan upaya ekstra dan mencapai apa yang mereka anggap mungkin (Arnold, Barling dan Kelloway, 2001). Transformasional leadership terdiri dari individualized consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan idealized infulence (Sarros dan Santosa, 2001; Pounder, 2003).
Idealized influence atau charisma. Para pemimpin menyediakan visi dan
pengertian terhadap misi, memasukan kebanggan, memperoleh rasa hormat,
kepercayan dan meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan
optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan kegairahan dan dan menginspirasi
para bawahannya. Sub-dimensi ini mengukur tingkat kekaguman dan kebanggan para
pengikutnya.
Individualiced onsideration. Para leader memberiakan peltihan dan
menotoring, menyediakan umpn balik berkeseinbungan dan menghubungkan kebutuhan
anggota organisasi ke misi organisasi. Subdimensi merupakan suatu alat ukur
terhadap tingakat yang mana pemimpin memperhatikan apa yang menyadari concern
dan kebutuhan yang berkaitan dengan pengembengang para indiviu pengikutnya.
Inspiirtioanl motivational. Pemimpin bertindak sebagai sbuah model atau
contoh (keteleadanaan) bagi para bawahanya, mengkomunikasi visi dan menggunkan
symbol-symbol untuk mengfokuskan upaya-upaya yang dilakukan. Sub-dimensi ini
mengukkur kemampuan pemimpin untuk menumbuhkan kepercayan (corfidence) terhadap
visi dan nilai-nilai pemimpin.
Inteelctuall situmultion . para pemimpin menstimulsi pengikutnya untuk
memikirkan kembali cara atu metode kerja yang lama dan menilai kembali
nilai-nilai dan keprcayaan merka yang lama. Dimensi ini berkenan denggan
derajad dimana para pengikutnya disediakan tugas-tugas yang menentang dan
didorong untuk memecahkan masalah dengn cara mereka sendiri. Kemudian pounder
(2001; dalam Pounder, 2003) me-merinfe aspek tranformasional leadership yang
dinyatakan secara implist pada aspek aslinya menjadi: inspirational motivation,
integrity, innovation, impression management, individual consideration, dan
intellectual stimulation. Pounder (2001; dalam 2003) memperlus sub-dimensi
idealized influence dengan menambahkan tiga sub-dimensi lainnya, yaitu : (a) Integriti pemimpin “work the talk”, mereka menyelaraskan perbuatan dengan
perkataannya. Dimensi ini mengukur tingkat mana para pengkutnya mempersepsikan
derajat kesesuaian yang tinggi antar perkataan dan yang diekspresikan dengan
perbuatannya.
Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan yang
ada dan proses dengan pengmbilan resiko dan mengeksperimenkannya. Para pemimpin
mendorong para bawahnya untuk mengmbil resiko dan bereksperimen dan
memperluaskan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar dari pada diperlakukan
sebagai celaan. Sub-dimensi ini fokus pada tingkat yang mana meminpin
membutuhkan sebuah komitmen inovasi organisasi.
Imreesion management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi kebutuhan
personal dan berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah orang “yang
memberi” yang teliti untuk memberi selamat kepada keberhasilan bawahannya dan
orang yang hangat dan perhatian terhadap bawahan tidak dibatasi pada kehidupan
kerja mereka. Sub-dimensi ini mengukur tingkatan mana anggota organisasi
mempersiapkan bahwa pemimpin mereka sebagai prinadi dibandingkan sekedar
intrumen pemimpin atau misi organisasi.
1. Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Akan
Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, sehingga dapat
diartikan kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari
individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa
penelitian dihubungkan dengan kepemimpin, dimana kepemimpinan yang efektif akan
selalu memberikan dampak dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja dari
bawahanya. Podsakof et.al (1996), menunjukkan bahwa “kepemimpinan
tranformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas
kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan tranformasional mempunyai
pengaruh signifikan dengan kepuasan akan kehidupan kerja secara menyeluruh”.
Kepemimpinan transformasional mempunyai pengruh signifikan terhadap kualitas
kehidupan kerja .
2.
Kepemimpinan
Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi.
Secara orgnisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya memulai perilaku kepemimpinan, seperti yang dikemukakan
oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa “selain kepemimpinan tranformasional, hal lain
yang penting dalam perilaku oganisasional adalah komitmen organisasi. Dalam
tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah dipandang sebagai salah satu
variabel yang paling penting dalam mempelajari manajemen dan perilaku
organisasi”. Dalam kesempatan yang sama Yousef (2000) menggunakan bahwa
terhadap hubungan secara positif antara perilaku kepemimpinan dengan komitmen
organisasi. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan tranformasional memiliki pengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasi.
3.
Kepemimpinan
Tranformasional dan Perubahan
Kepemimpinan tranformasional dikhtisarkan oleh penyataan Tichy dan Ulrich,
yaitu: “Apabila manjer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian
kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpin
transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga
mendorong perubahan besar-besaran pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem
inilah yang benar-benar menbedakan pemimpin transformasional dengan
transaksional.”
Tranformasional
diasosiasikan dengan inspirasi dan visi, kerjasama dan partipasi yang enerjik,
rekanan dan transformasi perasaan sikap dan kepercayaan pengikut. Dengan
penekanan pada pemeliharaan hubungan, kesatuan nilai dan tujuan dan
pengembangan budaya institusional (Sechin, 1985). Bass & Avolio (1994)
menyimpulkan karakteristik kepemimpinan transforamasional dalam hal, sebagai berikut;
• pengaruh
ideal (pemimpin sebagai penentuan)
• Motivasi
Inspirasional .
• Rangsangan
Intelectual.
• Pertimbangan
Individual (pemimpin sebagai pelatih dan mentor)
Penerimaan poin kebijaksanaan ditunjukkan untuk menimbulkan kepemimpinanan transformasional. Berdasarkan kepemimpinan transformasional sebagai model yang umum, tingkah laku global pemimpin telah dikemukakan dan dikaitkan dengan hasil positif. Bagaimanapun, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu:
• Kepemimpinan tranformasional (bertentangan dengan konotasi etis yang
dipertimbangan oleh Burns) telah menjadi alat manipulasi manajerial, ketimbang
sarana untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya dan memberi semangat kepada
yang lain (Allix, 2000);
• Konstuksi dari teori yang sangat abstrak sangat sulit untuk diperjelas
melalui penelitian empiris
4.
Lingkup
Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih dari pada model
pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi,
meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan
tetapi bagian dari salah satu pendekatan diman situasi transisi yang yang
membuka ruang publik terlibat di dalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini
dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik
dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks organisasional oleh
Benard Bass. Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan
yang melibatkan suatu proses prtukaran (exchange process) diman para pengikut
mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah
pemimpin.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarah organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah ada sebelumnya. Para pemain secara rill harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transfomasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan lain memetovasi para bawhan agar bersedia kerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu. Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara memperaktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupkan cermin dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan ndividu, dan oreantasi stimulasi intelektual. Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni charisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon. Hal-hal yang kecil dalam masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya, juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengangkat sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan hasil kajian literature yang dilakukan, Nortthouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menmpilkan kepemimpinnan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikan dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di lembaga pendidikannya. karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin tranformasinal yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sungguh-sungguh yang bersangkutan, Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarah organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah ada sebelumnya. Para pemain secara rill harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model kepemimpinan transfomasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan tindakan lain memetovasi para bawhan agar bersedia kerja demi sasaran-sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat itu. Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi, seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara memperaktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan kebijakan terhadap bawahannya, yang merupkan cermin dari unsur-unsur kharisma, kepekaan terhadap keunikan ndividu, dan oreantasi stimulasi intelektual. Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni charisma, kepekaan individu, dan stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam merespon. Hal-hal yang kecil dalam masyarakat, bukan hanya presiden yang harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga kabinetnya, juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengangkat sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan hasil kajian literature yang dilakukan, Nortthouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menmpilkan kepemimpinnan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikan dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di lembaga pendidikannya. karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin tranformasinal yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sungguh-sungguh yang bersangkutan, Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
a.
Berdayakan seluruh bawahannya untuk melakukan hal yang
terbaik untuk organisasi.
b.
Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang
didasari nilai yang tinggi
c.
Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan
semangat kerja sama
d.
Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang
dalam organisasi
e.
Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi
dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
f.
Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain
untuk berkontribusi terhadap organisasi
5. Pengambilan Keputusan
Para pengambil keputusan hampir selalu membuat keputusan, bahkan setiap
detik dari hidupnya. Ketika mereka mengambil keputusan, ada satu proses yang
terjadi pada otak manusia yang akan menentukan kualitas keputusan yang dibuat
(Permadi 1992). Ketika keputusan yang akan dibuat sederhana, seperti memilih
warna baju, manusia dapat dengan mudah membuat keputusan. Namun ketika
keputusan yang akan diambil bersifat kompleks dengan resiko yang besar seperti
perumusan kebijakan, pengambilan keputusan sering memerlukan alat bantu dalam
bentuk analisis yang bersifat ilmiah, logis dan terstruktur/konsisten. Salah
satu alat analisis tersebut adalah berupa decision making model (model
pembuatan keputusan) yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk
masalah yang bersifat kompleks. Faktor alam, politik, budaya, sosial ekonomi,
religi sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena bersifat
eksternal. Tidak jarang pengambilan keputusan dipengauhi dan ditekan oleh
beberapa faktor tadi. Ambil kasus, misalnya kebijakan UU pornograpfi yang
dipengaruhi oleh faktor religi atau kebijakan SKB 4 menteri tentang upah buruh
yang dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, dan ekonomi. Beberapa kebijakan
yang diambil merupakan hasil perumusan masalah dan pengambilan keputusan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas.
Manusia merupakan bagian dari alam, yang hidupnya tidak lepas dari alam. Bila pada proses kehidupan manusia sejak diciptakan merupakan unsur yang semakin lama semakin mendominasi atas unsur-unsur lainnya dari alam, maka hal itu tidak lain karena manusia dibekali dengan kemampuan-kemampuan untuk bisa berkembang demikian. Segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya dirasakannya dan diamatinya dengan menggunakan semua indera yang dimilkinya, dipikirkannya, lalu ia bertindak. Dalam menghadapi segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya, hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan melaksanakan, ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya; sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam mebuat keputusan. Proses sejak identifikasi masalah sampai pemilihan solusi terbaik inilah yang disebut pengambilan keputusan (Putro dan Tjakraatmadja, 1998). Jika keputusan yang diambil tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain atau prosesnya memerlukan pihak lain, maka perlu untuk diungkapkan sasaran yang akan dicapai berikut kronologi proses kengambilan keputusannya (Mangkusubroto dan Tresandi, 1987). Proses pengambilan keputusan di dalam kehidupan organisasi adalah suatu proses yang selalu terjadi, dimana hal ini merupakan denyut nadi jalannya organisasi tersebut (Sudirman, 1998).
Manusia merupakan bagian dari alam, yang hidupnya tidak lepas dari alam. Bila pada proses kehidupan manusia sejak diciptakan merupakan unsur yang semakin lama semakin mendominasi atas unsur-unsur lainnya dari alam, maka hal itu tidak lain karena manusia dibekali dengan kemampuan-kemampuan untuk bisa berkembang demikian. Segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya dirasakannya dan diamatinya dengan menggunakan semua indera yang dimilkinya, dipikirkannya, lalu ia bertindak. Dalam menghadapi segala proses yang terjadi di sekeliling dan di dalam dirinya, hampir setiap saat manusia membuat atau mengambil keputusan dan melaksanakan, ini tentu dilandasi asumsi bahwa segala tindakannya secara sadar merupakan pencerminan hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya; sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam mebuat keputusan. Proses sejak identifikasi masalah sampai pemilihan solusi terbaik inilah yang disebut pengambilan keputusan (Putro dan Tjakraatmadja, 1998). Jika keputusan yang diambil tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada orang lain atau prosesnya memerlukan pihak lain, maka perlu untuk diungkapkan sasaran yang akan dicapai berikut kronologi proses kengambilan keputusannya (Mangkusubroto dan Tresandi, 1987). Proses pengambilan keputusan di dalam kehidupan organisasi adalah suatu proses yang selalu terjadi, dimana hal ini merupakan denyut nadi jalannya organisasi tersebut (Sudirman, 1998).
Dari beberapa definisi pengambilan keputusan yang ditemukan, dapat
dirangkum bahwa pengambilan keputusan dalam suatu organisasi merupakan hasil
suatu proses komunikasi dan partisipasi yang terus menerus dari keseluruhan
organisasi. Hasil keputusan tersebut dapat merupakan pernyataan yang disetujui
antar alternatif atau antar prosedur untuk mencapai tujuan tertentu.
Pendekatannya dapat dilakukan, baik melalui pendekatan yang bersifat individual
atau kelompok, sentralisasi atau desentralisasi, partsipasi/tidak
berpartisipasi, maupun demokratis atau kosensus (Suryadi dan Ramdhani, 1998).
Persoalan pengambilan keputusan, pada dasarrnya adalah bentuk pemilihan dari
beberapa alternatif tindakan yang mungkin dipilih, yang prosesnya melalui
mekanisme tertentu, dengan harapan akan menghasilkan sebuah keputusan yang
terbaik. Penyusunan model keputusan adalah suatu cara untuk mengembangkan
hubungan-hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model
matematis, yang mencerminkan hubungan yang terjadi diantara faktor-faktor yang
terlibat.
D. Kualitas Pendidikan
1.
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN. 2003, pasal 1, ayat 1). Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan berupaya menyiapkan peserta didik agar
memiliki kompetensi-kempetensi yang bermanfaat bagi kehidupan melalui
penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran. Kompetensi-kompetensi yang
ingin diwujudkan melalui pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, tingkat persaingan antar individu dan antar bangsa
menjadikan kompetensi sumber daya manusia menjadi faktor yang semakin
menentukan dalam situasi kehidupan masyarakat global dewasa ini. Pendidikan
merupakan usaha memberikan pelayanan bagi setiap warganya dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan
merupakan investasi karena penyelenggaraanya memerlukan dana yang tidak sedikit
oleh karena itu lembaga penyelenggara pendidikan harus memikirkan efisiensi dan
efektivitas dalam pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itu upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan menjadi suatu yang sangat diperlukan agar out
put dari suatu proses pendidikan dapat benar-benar mampu menghadapi kehidupan
nyata di masyarakat. Dalam hubungan ini, lembaga pendidikan sekolah dituntut
untuk mampu memelihara dan meningkatkan proses pendidikan secara efektif dan
efisien serta dapat terus memperbaiki kualitas lulusannya agar mampu berperan
dalam membangun masyarakat.
2.
Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan
Dengan mengingat pentingnya bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan
upaya-upaya untuk menyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan
sistimatis sehingga proses yang terjadi di dalamnya dapat menjadi suatu
sumbangan besar bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, dalam hubungan
ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam
tataran mikro menempati posisi penting, karena dilembaga inilah setiap anggota
masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka
dengan berbagai ilmu dan berbagai keterampilan agar lebih mampu berperan dalam
kehidupan bermasyarakat. Kedudukan sekolah yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga
pendidikan masyarakat yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan
masyarakat, adapun fungsi-fungsi sekolah adalah (Morris. et al. 1962 : 113) :
o School give
opporatunity for self-development and social mobility
o School
develop the individual’s competence as a worker, citizen, and parent
o School
contribute to the economic growth of a society
o School help
to solve pressing social problem
Fungsi-fungsi tersebut, sebagai pemikiran yang diungkap lebih dari empat
puluh tahun lalu, nampaknya perlu diperluas mengingat perkembangan jaman yang
sangat cepat serta kompleksiatas masalah. Sekolah dewasa ini
perlu terus memikirkan posisinya kembali dalam masyarakat, perubahan yang
terjadi juga telah menyebabkan tuntutan akan pendidikan terus meningkat,
mendidik anak/siswa di sekolah bukan suatu fase yang terputus, tapi harus
merupakan kontribusi dinamis bagi perkembangan menjadi manusia pembelajar.
Sekolah tidak hanya mengajari anak dengan menambah penguasaan materi pelajaran
saja, tapi juga perlu membina mereka menjadi pemikir yang dalam dan mampu
menganalisa serta menerapkan pengetahuannya dalam memecahkan masalah-masalah
nyata kehidupan, disamping itu kemampuan siswa bekerja secara kolaboratif,
perlu terus dikembangkan, mengingat sekarang telah mengarah pada makin perlunya
networking dalam kehidupan masyarakat, semua ini akibat dari globalisasi.
3.
Sekolah
Sebagai Suatu Sistem Sosial
Sebagai suatu sistem, sekolah terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi
dan bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsinya guna mencapai tujun-tujan
pendidikan, sehingga dapat meningkatkan efektifitas pencapaiannya, menurut
Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel, (2001:23) unsur-unsur kunci dari suatu sistem
sosial sekolah sebagai oragnisasi formal dalah struktur, individu, budaya, dan
politik. Sebagai suatu sistem sosial organisasi sekolah merupakan organisasi
yang berfungsi melakukan transformasi input menjadi output. Dalam proses
tersebut terdapat faktor yang saling berpengaruh yaitu faktor struktur, faktor
individu, faktor politik, serta faktor budaya. Dengan demikian dalam melihat
suatu organisasi sekolah telah nampaknya diperlukan cara berpikir sistemik
mengingat masin-masing subsistem di dalamnya mempunyai pengaruh pada proses
transformasi yang terjadi, dan proses ini akan menentukan kualitas output yang
dihasilkan sekolah.
4.
Kualitas Pendidikan
L.C. Solmon dalam tulisan yang berjudul The Quality Of Education
(Psacharopaulos, 1987 : 253) menyatakan bahwa untuk memahami kualitas
pendidikan dari sudut pandang ekonomi diperlukan pertimbangan tentang bagaimana
kulitas itu diukur. Dalam hubungan ini terdapat beberapa sudut pandang dalam
mengukur kualitas pendidikan yaitu:
Ø Pandangan yang menggunakan pengukuran pada hasil pendidikan (sekolah atau
College)
Ø Pandangan yang melihat pada proses pendidikan
Pendekatan teori ekonomi yang menekankan pada akibat positif pada siswa
atau pada penerima manfaat pendidikan lainnya yang diberikan oleh institusi dan
atau program pendidikan
Sudut pandang tersebut diatas, masing-masing punya kelemahannya sendiri-sendiri, namun demikian pengukuran di atas tetap perlu dalam melihat masalah kualitas pendidikan, yang jelas diakui bahwa masalah peningkatan kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah sebagaimana diungkapkan oleh Stanley J. Spanbauer (1992:49) “Quality improvement in education should not be viewed as a “quick fix process”. It is a long term effort which require organizational change and restructuring”. Ini berarti bahwa banyak aspek yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, dan suatu pandangan komprehensif mengenai kualitas pendidikan merupakan hal yang penting dalam memetakan kondisi pendidikan secara utuh, meskipun dalam tataran praktis, titik tekan dalam melihat kualitas berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan suatu kajian atau tinjauan. Kualitas pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dia merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan mempunyai kontinum dari rendah ke tinggi berkedudukan sebagai suatu variabel,dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, variabel kualitas pendidikan dapat dipandang sebagai variabel bebeas yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya. Edward Salis (2006 : 30-31) menyatakan: “ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal, sumber daya yang melimpah, aplikasi telnologi yang mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajara anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut“. Pernyataan ini menunjukan banyakna sumber mutu dalam bidang pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu kulitas pendidikaan, atau faktor yang mempengaruhi kulitas pendidikan. Dalam hubungan dengan faktor berpengaruh pada kulitas pendidikan, hasil studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004 : 60) menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, menajemen sekolah, sarana fisik dan pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidilkan di sekolah menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenuhi kulitas dan prestasi belajar, dimana kulitas dan prestasi belajar pada dasarnya menggambarkan kulitas pendidikan.
Sementara itu Nanang Fatah (2000 : 90) mengemukakan upaya peningkatan mutu dan perluasan pendidikan membutuhkan sekurang-kurangnya tiga faktor utama yaitu; (1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti kulitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar; (2) proses belajar mengajar yang mendorong siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap keterampilan, dan nilai-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu proses belajar mengajar, dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan biaya yang dibutuhkan dan professional kependidikan dapat disediakan di sekolah. Dalam bidang kependidikan, yang termasuk input dalam konteks pengukuran kualitas hasil pendidikan adalah siswa dengan seluruh karakteristik personal serta biaya yang harus dikorbakan untuk memperoleh pendidikan/mengikuti sekolah, dan komponen yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah sebagai suatu institusi adalah guru dan SDM lainnya, kurikulum dan bahan ajar, metode pembelajaran, sarana pendidikan, sistem administrasi, sementara yang masuk dalam komponen output adalah hasil proses pembelajaran yang dapat menggambarkan kulitas pendidikan.
Sudut pandang tersebut diatas, masing-masing punya kelemahannya sendiri-sendiri, namun demikian pengukuran di atas tetap perlu dalam melihat masalah kualitas pendidikan, yang jelas diakui bahwa masalah peningkatan kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah sebagaimana diungkapkan oleh Stanley J. Spanbauer (1992:49) “Quality improvement in education should not be viewed as a “quick fix process”. It is a long term effort which require organizational change and restructuring”. Ini berarti bahwa banyak aspek yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, dan suatu pandangan komprehensif mengenai kualitas pendidikan merupakan hal yang penting dalam memetakan kondisi pendidikan secara utuh, meskipun dalam tataran praktis, titik tekan dalam melihat kualitas berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan suatu kajian atau tinjauan. Kualitas pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, dia merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan mempunyai kontinum dari rendah ke tinggi berkedudukan sebagai suatu variabel,dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, variabel kualitas pendidikan dapat dipandang sebagai variabel bebeas yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya. Edward Salis (2006 : 30-31) menyatakan: “ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal, sumber daya yang melimpah, aplikasi telnologi yang mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajara anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut“. Pernyataan ini menunjukan banyakna sumber mutu dalam bidang pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu kulitas pendidikaan, atau faktor yang mempengaruhi kulitas pendidikan. Dalam hubungan dengan faktor berpengaruh pada kulitas pendidikan, hasil studi Heyman dan Loxley tahun 1989 (Mintarsih Danumihardja 2004 : 60) menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, menajemen sekolah, sarana fisik dan pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dana untuk penyelenggaraan proses pendidilkan di sekolah menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenuhi kulitas dan prestasi belajar, dimana kulitas dan prestasi belajar pada dasarnya menggambarkan kulitas pendidikan.
Sementara itu Nanang Fatah (2000 : 90) mengemukakan upaya peningkatan mutu dan perluasan pendidikan membutuhkan sekurang-kurangnya tiga faktor utama yaitu; (1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti kulitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar; (2) proses belajar mengajar yang mendorong siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap keterampilan, dan nilai-nilai. Jadi kecukupan sumber, mutu proses belajar mengajar, dan mutu keluaran akan dapat terpenuhi jika dukungan biaya yang dibutuhkan dan professional kependidikan dapat disediakan di sekolah. Dalam bidang kependidikan, yang termasuk input dalam konteks pengukuran kualitas hasil pendidikan adalah siswa dengan seluruh karakteristik personal serta biaya yang harus dikorbakan untuk memperoleh pendidikan/mengikuti sekolah, dan komponen yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah sebagai suatu institusi adalah guru dan SDM lainnya, kurikulum dan bahan ajar, metode pembelajaran, sarana pendidikan, sistem administrasi, sementara yang masuk dalam komponen output adalah hasil proses pembelajaran yang dapat menggambarkan kulitas pendidikan.
E.
Strategi
Peningkatan Kualitas Pendidikan
1. Standar Kompetensi Pendidkan
Di dalam PP 19 Tahun
2005 disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar yang
menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kulitas pendidikan, Standar
Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar
yang menjadi kriteria minimal tersebut yaitu:
1. Standar isi
2. Standar Proses
3. Standar Kompetensi lulusan
4. Standar pendidiikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan
8. Standar Penilaian Pendidikan
1. Standar isi
2. Standar Proses
3. Standar Kompetensi lulusan
4. Standar pendidiikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar
Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta perdaban bangsa dan
bermartabat (PP 19/25 Pasal 4) Standar isi berkaitan
dengan kurikulum yang akan diajarkan pada siswa, dalam hubungan ini kurikulum
yang dipakai untuk dilaksanakan dilingkungan pendidikan dasar dan menengah
sesuai dengan kepmen No 22 tahun 2006 adalah KTSP yaitu kurikulum operasional
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP
terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Untuk lulusan telah diterbitkan Kepmen no. 23 tahun 2006 yang berisi
tentang Standar Kompetensi Lulusan, dengan adanya standar ini, maka segala
aktivitas dan proses pendidikan yang terjadi di sekolah harus mengacu pada
standar kompetensi lulusan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan guru
sehagai pendidik telah hadir Undang-Undang No. 14 tahun 2005, yang pada
dasarnya menggambarkan standar tenaga pendidik. Dalam PP No 19 tahun 2005 pasal
28 ayat 1 disebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kompetensi
yang harus dimiliki pendidik (Guru) adalah a) Kompetensi Pedagogik; b)
kompetensi kepribadian; c) kompetensi professional, dan d) kompetensi sosial
(PP No 19 tahun 2005 pasal 28 ayat 3).
Untuk lebih memahami makna masing-masing kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005.
Untuk lebih memahami makna masing-masing kompetensi tersebut, berikut akan dijelaskan sesuai dengan penjelasan yang tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 serta UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005.
a.
Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik
yang meliputi:
o Pemahaman terhadap peserta didik
o Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran
o Evaluasi hasil belajar
o Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
b.
Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif dan bewibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak
mulia.
c.
Kompetensi professional
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang ditetapkan BSNP.
d.
Kompetensi sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik/guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan
masyarakat sekitar.
2. Sertifikasi Mutu Pendidikan
Sertifikasi
merupakan proses pemberian sertifikat. Ini berarti bahwa sertifikasi di dasarkan
pada suatu kriteria atau standar tertentu yang telah ditetapkan. Dengan
demikian sertifikasi mutu pendidikan bermakna proses pemberian sertifikat
berkaitan dengan kualitas pendidikan. Dalam bidang mutu secara umum, terdapat
lembaga yang memberikan sertifikasi seperti ISO, dimana bidang pendidikanpun
dapat memperolehnya sesudah melalui proses tertentu. Sementara itu dalam
konteks Indonesia Badan Akreditasi dapat dipandang sebagai lembaga yang
melakukan sertifikasi, dalam arti memberikan peringkat pada lembaga pendidikan
bekaitan dengan penyelenggaraan pendidikan apakah dapat memenuhi standar yang
telah ditentukan atau belum. Secara teoritis diakui bahwa kualitas pendidikan
sebagai suatu profesi dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan yang
telah ditentukan, dalam hubungan ini sertifikasi pendidik menjadi salah satu
cara untuk melihat keprofesionalan tenaga pendidik. Berkaitan dengan tenaga pendidik, sertifikasi menjadi dasar dalam
menentukan keprofesionalan Guru/Dosen. Mereka harus punya sertifikat pendidik
sebagai bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai
tenaga professional. Menurut UU No 14 tahun 2005 pasal 11 disebutkan sebagai
berikut :
a)
Sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal
8 diberikan kepada guru yang tekah memenuhi persyaratan.
b)
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi
dan ditetepkan oleh pemerintah.
c)
Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif,
transparan, dan akuntabel.
d)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik
sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
3. Sosialisasi Manajemen Mutu dan Penjaminan Mutu
Masalah mutu
dalam era sekarang ini merupakan masalah berkaitan dengan hidup dan matinya
suatu organisasi terutama organisasi bisnis, oleh karena itu tidaklah
berlebihan jika Rene T Domingo menulis buku berjudul Quality Means Survival
(1997), artinya kualitas bermakna kehidupan. Untuk itu upaya untuk menjadikan
organisasi bertahan, masalah kualitas harus menjadi perhatian, dan oleh
karenanya makna penjaminan kualitas menjadi satu keharusan untuk diterapkan
dalam suatu organisasi dalam kerangka Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality
Mangjement). Oleh karena itu dalam dunia pendidikan pun masalah kualitas harus
menjadi konsern bersama, mengingat masih diperlukan upaya yang serius guna
meningkatkan kualitas pendidikan serta persaingan global dalam bidang
pendidikan yang menunjukkan kecenderumgan makin meningkatkan baik level
nasional maupun level global, ini terlihat makin banyaknya promosi yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan dari Negara lain.
Namun demikian dalam kenyataan, perhatian dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan kualitas manajemen kualitas pendidikan. Untuk itu dalam melakukan sosialisasi dapat dilakukan melalui pendekatan difusi inovasi.
Namun demikian dalam kenyataan, perhatian dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan kualitas manajemen kualitas pendidikan. Untuk itu dalam melakukan sosialisasi dapat dilakukan melalui pendekatan difusi inovasi.
F.
Pembahasan
Human Investmen menjelaskan proses dimana pendidikan
memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasikan
literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua
sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadiah Nobel
ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago. Amaerika Serikat, Edward
Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas
penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini
adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang diukur
juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih
baik dibanding yang pendidikkannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan
produktivitas, maka semakin banyak orng yang memiliki pendidikan lebih tinggi
semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih
tinggi. Konsep investasi sumber daya manusia dapat dilihat dari tiga butir
penting, yaitu education for all, education for self-help dan retrun on
investment (ROI). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan
mempunyai efek ganda dalam kehidupan manusia. Segala aspek yang ada dalam
kehidupan manusia harus berpedoman pada pendidikan jika menginginkan kehidupan
yang layak. Manusia mencari banyak cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih
baik. Konsep dasar manusia di segala jaman adalah pencarian hidup perkembangan
dalam menghasilkan prinsip, jawaban, proses prosedur, atau cara memperoleh
tujuan dalam hidup. Proses pelaksanaan pendidikan dan latihan merupakan
sarana untuk meningkatkan kemampuan manusia terhadap produktivitas yang lebih
baik merupakan jaminan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Sebab
produktivitas kerja yang lebih baik akan terwujud melalui pendidikan dan
latihan. Bentuk pendidikan melalui sekolah merupakan bentuk human investmen
yang lebih komprehensif. Artinya, manusia terdidik akan memilikin multifungsi
dan kemauan lebih dalam menghadapi perubahan dunia yang semakin cepat. Andai
seluruh manusia dalam sebuah bangsa memiliki, maka otomatis bangsa tersebut
akan maju dan menjadi yang terdepan.
Pemerintahan pada saat ini belum berhasil merumuskan model pendidikan seperti apakah yang sesuai di Indonesia. Pendidikan di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita founding Father yang termaktub dalam mukadimah UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah ke depan, agar pendekatan sumber daya mnusia di bidang pendidikan dapat terlaksana dengan lancar. Dari data survei sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Stasistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan perguruan tinggi memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD. Hal ini berarti pemerataan pendidikan dan pembiayaan pendidikan di Negara kita masih jauh dari harapan konsep, Human Investment yang mengedepankan kemampuan manusia dalam memajukan bamgsa dengan media pendidikan.
Fenomena yang tak kalah menarik di dalam masyarakat adalah mengenai pemerataan pendidikan. Secara kuantitatif, fenomena ini kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi. Kecendrungan lain yang muncul di Negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi tanpa memperhatikan kualitas pendidikan. Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya sudah mendarah daging. Akan tetapi hal ini dapat dikaji dengan melihat faktor-faktor masalahnya terlebih dahulu. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelengaraan sistem pendidikan, Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelengaraan pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, dan sebagainya. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, system pendidikan di Indonesia juga menglami masalah-masalah cabang, antara lain: Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kulitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dengan kebutuhan, Mahalnya biaya pendidikan. Kepemimpinan tetap selalu menjadi isu sentral di berbagai jenis organisasi baik di organisasi bisnis, perusahaan, ataupun lembaga pendidikan. Interaksi antar manusia dalam dunia pendidikan merupakan kunci utama yang harus di pegang seorang pemimpin lembaga pendidikan. Kenapa demikian?, karena salah satu tugas utama seorang pemimpin pendidikan beroreantasi pada manusia yang seimbang dengan pencapaian visi dan misi lembaga pendidikannya. Yaitu: [1] menetapkan dan mengupayakan tercapainya tujuan pendidikan atau disebut task oriented, dan [2] memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya atau human oriented. Konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern haruslah yang memilki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki semangat, nilai–nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak diantaranya yang releven sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Barta, atau delapan ajaran keutamaan, seperti ditunjukkan oleh sifat-sifat alam. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tolodo , ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengndung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku disegala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu niali bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinan-nya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Dominasi era global telah membuat para penyelengaraan pendidikan terjebak dalam perasaan ketidakpastian dengan sistem saat ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuaan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetensi dan perubahan yang begitu massif dan cepat. Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan sekedar relevansi antar content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi lebih mengarah pada apa yang harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi dimensi pedagogies-didaktif (antara lain: teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat pembelajaran dan lainnya) dengan trend budaya global. Sehingga lembaga pendidikan harus mampu menyelesaikan perubahan ”Globalisasi yang diterjemahkan melalui definisi “globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau”mensejagat” sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan apanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia baik berupa ide, gagasan, data, informasi, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia, hal ini biasanya banyak terjdi di lingkungan pendidikan dan berpeluang mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya”. Globalisasi perlu dicermati dengan memperhatikan akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperative berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melkukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksitensinya di jaman yang berat seperti sekarang. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekedar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan dimasa mendatang.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner serta kurang disadari visi yang jelas. Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap penerang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai sutau proses “membujuk” orang-orang lain menuju sasaranan bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen, yakni:
1. Kepemimpinan merupakan sutu konsep relasi (relation concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gradner menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin 3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, retruktursasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya. Sebagai kesimpulan akhir konsep kepemimpinan dalam pendidikan selain memanfaatkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranrsformasional juga diperlukan menajemen partisipatif dari semua elemen organisasi dengan berorientasi pada tugas pokok pendidkan dan tugas pokok pengelolaan pelembagaan. Pentingnya berorientasi pada manusia, tidak lepas dari mekanisme manajemaen partisipatif dimana “anak buah” diajak untuk berpatisipasi dalam pencapaian tujuan lembaga pendidikan. Karena baginya, “keuntungannya manajemen partsipatif adalah motivasi dan moral kerja diperbaiki, rasa memiliki dan tanggung jawab ditingkatkan, melancarkan komunikasi timbala balik, keputusan yang diambil memiliki tingkat akseptibilitas yang tinggi, dan pelaksanaan keputusan biasanya lebih lancar“.
Disamping seorang pemimpin pendidikan, sebuah lembaga pendidikan hendaknya juga mempunyai seorang manajer lembaga pendidikan. Berbeda dengan pemimpin pendidikan, seorang manajer pendidikan lebih terfokus pada pengaturan mekanisme bergulirnya sebuah lembaga pendidikan. Mulai dari mengurusi bagian administrasi, keuangan, personalia, bagian umum, hingga masalah kehumasan. “Sebagai seorang pemimpin, kita diharapkan membawa visi, misi, filosofi dan nilai-nilai agar bisa dicapai. Pemimpin pendidikan lebih berperan untuk memberi inspirasi, dukungan, pemahaman, kepercayaan, keteladanaan, dan pengaruh. Sedangkan manajer membawa lembaga pendidikan supaya menjadi wealth creating instititution. Manajer pendidikan lebih berurusan dengan bagaimana menyelenggarakan lembaga secara efektif dan efisien,“ ungkapnya. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa pemimpin dan manajer lembaga pendidikan dapat dipegang oleh satu orang. Perananan kepemimpinan tersebut dapat digambarkan dengan mempertimbangkan keseluruhan elemen organisasai yang digerakkan oleh kepemimipinan yang dimiliki oleh pimpinanan tersebut untuk mencapai keunggulan organisasi dalam bersaing dalam melayani keinginan pemakai jasa pelayanan pendidikan.
Pemerintahan pada saat ini belum berhasil merumuskan model pendidikan seperti apakah yang sesuai di Indonesia. Pendidikan di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita founding Father yang termaktub dalam mukadimah UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah ke depan, agar pendekatan sumber daya mnusia di bidang pendidikan dapat terlaksana dengan lancar. Dari data survei sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Stasistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan perguruan tinggi memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD. Hal ini berarti pemerataan pendidikan dan pembiayaan pendidikan di Negara kita masih jauh dari harapan konsep, Human Investment yang mengedepankan kemampuan manusia dalam memajukan bamgsa dengan media pendidikan.
Fenomena yang tak kalah menarik di dalam masyarakat adalah mengenai pemerataan pendidikan. Secara kuantitatif, fenomena ini kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi. Kecendrungan lain yang muncul di Negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi tanpa memperhatikan kualitas pendidikan. Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia sebetulnya sudah mendarah daging. Akan tetapi hal ini dapat dikaji dengan melihat faktor-faktor masalahnya terlebih dahulu. Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelengaraan sistem pendidikan, Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelengaraan pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, dan sebagainya. Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, system pendidikan di Indonesia juga menglami masalah-masalah cabang, antara lain: Rendahnya sarana fisik, Rendahnya kulitas guru, Rendahnya kesejahteraan guru, Rendahnya prestasi siswa, Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dengan kebutuhan, Mahalnya biaya pendidikan. Kepemimpinan tetap selalu menjadi isu sentral di berbagai jenis organisasi baik di organisasi bisnis, perusahaan, ataupun lembaga pendidikan. Interaksi antar manusia dalam dunia pendidikan merupakan kunci utama yang harus di pegang seorang pemimpin lembaga pendidikan. Kenapa demikian?, karena salah satu tugas utama seorang pemimpin pendidikan beroreantasi pada manusia yang seimbang dengan pencapaian visi dan misi lembaga pendidikannya. Yaitu: [1] menetapkan dan mengupayakan tercapainya tujuan pendidikan atau disebut task oriented, dan [2] memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya atau human oriented. Konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern haruslah yang memilki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki semangat, nilai–nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak diantaranya yang releven sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Barta, atau delapan ajaran keutamaan, seperti ditunjukkan oleh sifat-sifat alam. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tolodo , ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengndung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku disegala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu niali bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinan-nya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Dominasi era global telah membuat para penyelengaraan pendidikan terjebak dalam perasaan ketidakpastian dengan sistem saat ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuaan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetensi dan perubahan yang begitu massif dan cepat. Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan sekedar relevansi antar content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, akan tetapi lebih mengarah pada apa yang harus dicermati oleh dunia pendidikan terhadap relevansi dimensi pedagogies-didaktif (antara lain: teknik pengajaran, kurikulum, metode, tempat pembelajaran dan lainnya) dengan trend budaya global. Sehingga lembaga pendidikan harus mampu menyelesaikan perubahan ”Globalisasi yang diterjemahkan melalui definisi “globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau”mensejagat” sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan apanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia baik berupa ide, gagasan, data, informasi, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia, hal ini biasanya banyak terjdi di lingkungan pendidikan dan berpeluang mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya”. Globalisasi perlu dicermati dengan memperhatikan akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperative berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melkukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksitensinya di jaman yang berat seperti sekarang. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekedar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan dimasa mendatang.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner serta kurang disadari visi yang jelas. Dalam literatur-literatur kepemimpinan, setiap penerang maupun para kulitinta umumnya mengajukan pengertian tersendiri tentang konsep kepemimpinan. Locke mendefinisikan kepemimpinan sebagai sutau proses “membujuk” orang-orang lain menuju sasaranan bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen, yakni:
1. Kepemimpinan merupakan sutu konsep relasi (relation concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pemimpin. Dalam definisi ini juga tersirat suatu premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan ber-relasi dengan para pengikut mereka
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. John Gradner menemukan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak merupakan tanda seseorang untuk menjadi pemimpin 3. Kepemimpinan harus “membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, retruktursasi organisasi dan mengkomunikasikan misi dan visinya. Sebagai kesimpulan akhir konsep kepemimpinan dalam pendidikan selain memanfaatkan pada konsep kepemimpinan visioner dan tranrsformasional juga diperlukan menajemen partisipatif dari semua elemen organisasi dengan berorientasi pada tugas pokok pendidkan dan tugas pokok pengelolaan pelembagaan. Pentingnya berorientasi pada manusia, tidak lepas dari mekanisme manajemaen partisipatif dimana “anak buah” diajak untuk berpatisipasi dalam pencapaian tujuan lembaga pendidikan. Karena baginya, “keuntungannya manajemen partsipatif adalah motivasi dan moral kerja diperbaiki, rasa memiliki dan tanggung jawab ditingkatkan, melancarkan komunikasi timbala balik, keputusan yang diambil memiliki tingkat akseptibilitas yang tinggi, dan pelaksanaan keputusan biasanya lebih lancar“.
Disamping seorang pemimpin pendidikan, sebuah lembaga pendidikan hendaknya juga mempunyai seorang manajer lembaga pendidikan. Berbeda dengan pemimpin pendidikan, seorang manajer pendidikan lebih terfokus pada pengaturan mekanisme bergulirnya sebuah lembaga pendidikan. Mulai dari mengurusi bagian administrasi, keuangan, personalia, bagian umum, hingga masalah kehumasan. “Sebagai seorang pemimpin, kita diharapkan membawa visi, misi, filosofi dan nilai-nilai agar bisa dicapai. Pemimpin pendidikan lebih berperan untuk memberi inspirasi, dukungan, pemahaman, kepercayaan, keteladanaan, dan pengaruh. Sedangkan manajer membawa lembaga pendidikan supaya menjadi wealth creating instititution. Manajer pendidikan lebih berurusan dengan bagaimana menyelenggarakan lembaga secara efektif dan efisien,“ ungkapnya. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa pemimpin dan manajer lembaga pendidikan dapat dipegang oleh satu orang. Perananan kepemimpinan tersebut dapat digambarkan dengan mempertimbangkan keseluruhan elemen organisasai yang digerakkan oleh kepemimipinan yang dimiliki oleh pimpinanan tersebut untuk mencapai keunggulan organisasi dalam bersaing dalam melayani keinginan pemakai jasa pelayanan pendidikan.
G. Simpulan
Dari uraian di atas,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sangat dekat
denagan kesuksesan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Kepemimpinan akan
sangat mewarnai, mempengaruhi bahkan menentukan bagaiman perjalanan suatu
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Agar pemimpin dapat memotivasi anak
buah dengan lebih muda, diperlukan kemampuan menunjukan “makna” pekerjaan yang
akan dilkukan dan menunjukan “keuntungan” yang akan diraih.
2.
Lembaga pendidikan adalah lembaga yang bersifat
kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena lembaga pendidikan sebagai
organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling
berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena lemabaga
pendidikan memiliki karakter tersendiri, dimana proses terjadi proses belajar
mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena
sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, lembaga pendidikan sebagai organisasi
memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. “Keberhasilan lembaga pendidikan
adalah keberhasilan pemimpin lembaga pendidikan.” Secara sederhana pemimpin
lembaga pendidikan dapat didefenisikan sebagai seorang tenaga fungsional tenaga
pendidikan dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana
terjadinya interaksi antara tenaga kependidikan yang memberi pelajaran dan
murid yang menerima pelajaran. Pemimpin lembaga pendidikan dilukiskan sebagai
orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para peserta didik.
3.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan,
Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan
kepemimpinan tranformasional ternyata dapat lebih menunjukan sebagai seorang
pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu,
merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin lembaga pendidikanmya.
Karena kepemimpinan tranformasional merupakan sebuah rentangan yang luas
tentang aspek-aspek kepemimpinan. Maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin
sadar dan sungguh-sungguh dari yang bersangkutan. Nothouse (2001) memberikan
beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transfrmasional, yakni sebagai
berikut:
a. Berdayakan
seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
b. Berusaha
menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
c. Dengarkanlah
semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
d. Ciptakan visi
yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
e. Bertindak
sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh sebagaimana
menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
f. Menolong
organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap
organisasi
4.
Strategi yang dikembangkan untuk meningkatkan mutu
lembaga pendidikan anatara lain adalah standar Kompeyensi Pendidikan,
Sertifikasi Mutu Pendidikan, Sosialisasi, Manajemen Mutu Dan Penjaminan Mutu.
5. Pengaruh-pengaruh
kelompok dalam pengambilan keputusan transformasional visioner datang dari
kompenen itu sendiri, yaitu;
a) Tujuan
interdisipliner
b)
Analisa Lingkungan
c)
Sistem Proses
d)
Informasi
e)
Memperhitungkan faktor-faktor ketidaksamaan
f)
Diarahkan pada tindakan nyata
6.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin
terhadap pendidikan di Indonesia saat ini belumlah memenuhi kesejahteraan
publik. Parahnya lagi kebijakan tersebut tidak berpijak pada visi ke depan.
Alhasil, kebijakan yang ada hanyalah sebatas ketentuan biasa yang instan.
Contohnya, setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, maka kurikulum pun diubah.
DAFTAR PUSTAKA
Allix, N.
(2000) ‘Tranformational Leadership: democratic or despotic?’, Educational
Management & Administration, 28 (1), hal. 7-20.
Management & Administration, 28 (1), hal. 7-20.
Bass, B.M
& Avolio, B.J (1994) Improving Organizational Effectivess through
Transformational Leadership, Thousand Oaks, CA: Sage.
Gibson, J. L.
1979. Organization, Behavior, Structures, Process. Business Publishing Company,
Dallas.
Hasbullah.
(1999). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Heyting, m.
(19880. ‘Leadership in professionally stafed organization, in Glatter, R. et al
(eds.) Understanding School Management, Milton Keynes: Open University Press.
Janis, LL. Dan
Mann, l. (1977). Decision Making. New York; McMillan Publishing.
Law, S. &
Glover, D. (2001) Education Leadership and Learning, Buckingnam: Open
University Press.
Natawidjaja,
R, Sukmadinata, N. S. Ibrahim, R. dan Djohar, A. (2007). Rujukan Filsafat,
Teori, dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung: Univertas Pendidikan Indonesia
Press.
Saaty, T. L.
dan Vergas, L. G. (1994). Decision Making In Economic, Poltical, Social, and
Technological Environment with the Analytic Hierarchi Process. Pittsburgh: RWS
Publications.
Schein, E,
(1985). Organizational Culture and Leaderdhip. San Francisco: Jossry-Bass.
Siagian,
Sondang P. (2008). Pengantar Fisafat Pendidikan. Bandung; Percikan Ilmu.
Stogdill, R.
M. (1974). Hanbook of Leadership, New York: The Free Press.
Tannembaum, R.
1961. Leadership and Organization. New York: McGraw-Hill.
Vroom, V. H.
dan A. G. Jago. 1988. The New Leadership. Managing Participation in
Orgaization. New Jersey: Prentice Hall, Englewood.
Yeoh, Michael.
(1995). Vision Leadership: Values and Dtrategis Towards Vision 2020. Selangor:
Pelanduk Publication.
Yukl, G. (2001) Leadership
in Organisation, Englewood Cliffs: Prentince-Hall.
PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR
No comments:
Post a Comment