Seperti yang telah dicetuskan para pendiri bangsa, Indonesia lahir berdasarkan
keberagaman dengan sebuah kompromi yang menghormati kepentingan seluruh
kelompok. Para pendiri republik ini telah menyepakati nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia yang merupakan resapan dari berbagai kebudayaan, agama serta
kepercayaan yang pernah masuk ke bumi nusantara dan merumuskannya dengan nama
Pancasila. Rumusan Pancasila ini telah disepakati oleh para pendiri republik
ini sebagai modus vivendi (pedoman hidup) bagi bangsa Indonesia yang
pluralistik dimana umat Buddha Indonesia termasuk didalamnya dan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia. Yang terbaik bagi
suatu bangsa adalah menemukan ideologi yang digali dari jiwa bangsa itu
sendiri. Kita semua bersyukur bahwa para pendiri republik ini sudah merumuskan
ideologi Pancasila yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.
Dimensi realitas dari
Pancasila yaitu nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakat
yang tertanam dan berakar di masyarakat pada umumnya dan umat Buddha pada
khususnya jelas tercermin dari mulai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
yang sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Udana VIII :
3 yang berbunyi sebagai berikut : “ Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam
asankhatam, no ce tam bhikkhave abhavisam ajatam abhutam akatam asankhatam,
nayidha jatassa bhutassa katassa sankhatassa nissaranam paññayetha. Yasma ca
kho bhikkhave atthi ajatam abhutam akatam asankhatam, tasma jatassa bhutassa
katassa sankhatassa nissaranam paññaya’ti ” yang artinya “ Para bhikkhu,
ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para
bhikkhu, bila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta,
Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi, para bhikkhu, karena ada
Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu.
Umat Buddha Indonesia mempunyai sikap
sangat menghormati kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan
yang diyakininya dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya
itu. Sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama yang
berbeda-beda itu merupakan sikap umat Buddha di seluruh dunia sejak jaman
dahulu kala. Hal ini terbukti dengan adanya Prasasti Batu Kalinga No. XIII dari
Raja Asoka (abad ketiga sebelum masehi) yang antara lain berbunyi : “ … janganlah
kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa sesuatu dasar
yang kuat…. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas
dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita
sendiri untuk berkembang, disamping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan
berbuat sebaliknya, maka kita telah merugikan agama kita sendiri, disamping
merugikan agama orang lain….. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan,
dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia
mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak
berdiri sendiri, tetapi terhubungkan dengan dan sekaligus mengilhami sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab merupakan pengamalan dari Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertanam dan berakar di masyarakat pada
umumnya dan umat Buddha pada khususnya. Pancasila sebagai ideologi negara
sangat relevan dengan situasi yang ada. Hal ini sudah jelas terbukti dan
sekaligus teruji dengan demikian besarnya dan kuatnya solidaritas kemanusiaan
dari seluruh masyarakat pada saat musibah tsunami dan bencana alam lainnya di
Indonesia.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Samyutta Nikaya I
: 75 yang berbunyi sebagai berikut : “ Sabba disa anuparigamma cetasa,
Nevajjhaga piyataramattana kvaci, Evam piyo putthu atta paresam “ yang
artinya “ Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran, maka kita menemukan bahwa
diri sendirilah yang paling kita cintai. Karena tidak ada lain yang dicintai
oleh seseorang selain dirinya sendiri, maka perhatikan dan hormatilah orang
lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri “. Penjabaran dan pengamalan Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab oleh umat Buddha Indonesia senantiasa
dilandaskan pada “ Brahmavihara “ yang artinya “ Empat Keadaan Batin
Luhur “, yaitu : Yang pertama “ Metta “ yang berarti cinta kasih
universal, suatu sikap batin yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagian
semua mahluk hidup tanpa membeda-bedakan sedikitpun. Yang kedua “ Karuna
“ yang berarti welas asih, suatu sikap batin kasihan yang timbul apabila
melihat penderitaan mahluk hidup lain dan berhasrat untuk menghilangkan atau
meringankan penderitaannya. Yang ketiga “ Mudita “ yang berarti
simpati, suatu sikap batin gembira yang timbul apabila melihat keberhasilan
orang lain. Yang keempat “ Upekha “ yang berarti keseimbangan batin,
suatu sikap batin yang seimbang dalam segala keadaan oleh karena menyadari
bahwa setiap mahluk hidup memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Pengamalan
sila pertama dan kedua dari Pancasila akan membentuk bangsa Indonesia sebagai
suatu bangsa yang religius dan terlibat secara aktif dalam mengimplementasikan
bagaimana hidup yang religius didalam masyarakat yang majemuk.
Berbeda dengan dunia barat dimana
negara dibentuk berdasarkan kesepakatan individual, para pendiri republik ini menetapkan
terlebih dahulu cita-cita akan Negara Indonesia kemudian orang perorang
bersepakat mewujudkan cita-cita itu. Kondisi inilah yang membuat para
pendiri republik merumuskan Sila Persatuan Indonesia dimana
persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan negara diatas kepentingan
pribadi atau golongan. Hak asasi manusia sebagai pribadi adalah hak asasi warga
negara bukan hak yang terlepas-lepas.
Sila Persatuan Indonesia sejalan dan
bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Khuddaka Nikaya, Cariyapitaka
33 / 595 yang berbunyi sebagai berikut : “ Vivadam bhayato disva avivadañca
khemato, Samagga sakhila hotha esa buddhanusasani “ yang artinya “ Dengan
melihat bahaya pertengkaran dan rasa aman yang timbul dari sikap menghindari
pertengkaran, hendaklah seseorang bersikap menunjang persatuan dan kesatuan
kelompok. Inilah ajaran Sang Buddha “. Juga sejalan dan bersesuaian dengan
Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dhammapada 194 yang berbunyi sebagai berikut “ Sukha
sanghassa samaggî, samangganam tapo sukho “ yang artinya “ Berbahagialah
mereka yang dapat bersatu, berbahagialah mereka yang tetap dalam persatuan “.
Penjabaran dan pengamalan Sila Persatuan Indonesia oleh umat Buddha Indonesia
dengan cara mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan
pribadi, golongan ataupun kelompok secara suka rela dengan dilandasi rasa cinta
kasih kepada tanah air dan bangsa.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan dirumuskan oleh para
pendiri republik dari hakikat alam pikir, karakter, kepribadian, dan sifat
tanah-air Indonesia dengan segala kekhasannya yang berasal dari kebudayaan
peradaban Nusantara-Indonesia sejak pra kedatangan Hindu, masa Hindu Buddha,
masa kedatangan Islam, dan masa kontak dengan imperialisme Eropa Barat. Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan /
Perwakilan ini membuat seluruh rakyat Indonesia
termasuk umat Buddha didalamnya sebagai warga negara dan warga masyarakat
Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dengan warga negara Indonesia lainnya.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan sejalan dan bersesuaian
dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dîgha Nikaya, Maha Parinibbana Sutta yang
berbunyi sebagai berikut : “ …Kinti te ananda suttam vajjî samagga
sannipatanti samagga vutthahanti samagga vajjîkaranîyani karontî’ti. Suttam me
tam bhante vajjî samagga sannipatanti samagga vutthahanti samagga
vajjîkaranîyani karontî’ti. Yavakîvañca ananda vajjî samagga sannipatanti
samagga vutthahanti samagga vajjîkaranîyani karissanti, vuddhiyeva vajjînam
patikankha no parihani. “ yang artinya “ Apakah engkau pernah mendengar,
Ananda, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri permusyawaratan mereka
secara damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan
? Demikianlah yang saya dengar, bhante, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan
mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan
urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan. Selama kaum Vajji bermusyawarah
dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan
urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan, Ananda, maka dapatlah diharapkan
perkembangan mereka, dan bukan keruntuhan. “ Penjabaran dan pengamalan Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan /
Perwakilan oleh umat Buddha Indonesia adalah dengan cara sebelum diambil
keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, terlebih dahulu diadakan
musyawarah. Setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan
bersama. Setiap keputusan yang sudah dimusyawarahkan akan senantiasa dihormati
dan dijunjung tinggi.
Dimensi idealisme
dari Pancasila yaitu cita-cita yang ingin dicapai dalam bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada masyarakat
umumnya dan umat Buddha pada khususnya jelas tercermin dari Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sejalan dan
bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Samyutta Nikaya IV : 331 yang
artinya berbunyi sebagai berikut :
1.
Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara tidak sah
disertai kekerasan, dan dengan berbuat demikian ia tidak memperoleh kesenangan,
tidak memperoleh kenikmatan bagi dirinya sendiri, ia tidak membaginya dengan
orang lain serta tidak melakukan perbuatan berjasa apapun, adalah tercela dalam
tiga hal. Ia tercela karena ia mencari kekayaan dengan cara tidak sah disertai
kekerasan, karena ia tidak memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya
sendiri, dan tidak membaginya dengan orang lain serta tidak melakukan perbuatan
berjasa.
2.
Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah tanpa
kekerasan, dan dengan berbuat demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan
bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain serta melakukan
perbuatan-perbuatan berjasa, tetapi ia mempergunakan kekayaannya secara
serakah, bernafsu, melekat, dan merasa bersalah, tidak berhati-hati terhadap
bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan lupa pada nilai batinnya yang
tertinggi, adalah terpuji dalam tiga hal, tetapi masih tercela dalam satu hal.
Ia terpuji karena ia mencarinya dengan cara sah tanpa kekerasan, memperoleh
kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan membaginya dengan orang lain
serta melakukan perbuatan berjasa. Tetapi ia masih tercela karena ia
menggunakannya secara serakah, bernafsu, melekat dan merasa bersalah, tidak
berhati-hati terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan lupa pada
nilai batinnya yang tertinggi.
3.
Tetapi seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah
tanpa kekerasan, dan dengan demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan
bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan
perbuatan-perbuatan berjasa, menggunakannya tanpa serakah, bernafsu, melekat,
dan tidak merasa bersalah, penuh perhatian terhadap bahaya penggunaan kekayaan
secara salah, dan hidup sesuai dengan nilai batinnya yang tertinggi, adalah
terpuji dan tidak tercela dalam empat hal.
Para pendiri republik ini menyadari
bahwa kelima sila dari Pancasila memang tidak dapat dikatakan sudah
sempurna dan mewakili jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia secara tuntas,
akan tetapi paling tidak menjadi pegangan ideologis bernegara
yang ingin dikembangkan oleh generasi-generasi penerus. Secara substansial
Pancasila adalah common denominator (“pembagi bersama” alias
titik temu) bagi berbagai pemikiran dan aliran yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia dari masa ke masa dan senantiasa memperkuat relevansinya dari waktu
ke waktu.
Dimensi fleksibilitas
dari Pancasila, yaitu penyegaran dan pemaknaan secara kontekstual dan
inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi tujuan utama secara
terus menerus dengan mengadopsi semua perkembangan yang sesuai baik
dari dalam maupun luar negeri maka kita dapat menempatkan Pancasila sebagai
ideologi bernegara yang progresif, dinamis dan bergerak kedepan. Dengan
penyegaran pemahaman terhadap Pancasila secara terus-menerus, Pancasila akan
selalu menjadi titik temu keberagaman pada bangsa ini.
PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR
No comments:
Post a Comment