informasi cari disini

Tuesday, 27 September 2011

DASAR NEGARA PANCASILA TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DI INDONESIA MENURUT PANDANGAN UMAT BUDDHA

Seperti yang telah dicetuskan para pendiri bangsa, Indonesia lahir berdasarkan keberagaman dengan sebuah kompromi yang menghormati kepentingan seluruh kelompok. Para pendiri republik ini telah menyepakati nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan resapan dari berbagai kebudayaan, agama serta kepercayaan yang pernah masuk ke bumi nusantara dan merumuskannya dengan nama Pancasila. Rumusan Pancasila ini telah disepakati oleh para pendiri republik ini sebagai modus vivendi (pedoman hidup) bagi bangsa Indonesia yang pluralistik dimana umat Buddha Indonesia termasuk didalamnya dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia. Yang terbaik bagi suatu bangsa adalah menemukan ideologi yang digali dari jiwa bangsa itu sendiri. Kita semua bersyukur bahwa para pendiri republik ini sudah merumuskan ideologi Pancasila yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.
Dimensi realitas dari Pancasila yaitu nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakat yang tertanam dan berakar di masyarakat pada umumnya dan umat Buddha pada khususnya jelas tercermin dari mulai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Udana VIII : 3 yang berbunyi sebagai berikut : “ Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam asankhatam, no ce tam bhikkhave abhavisam ajatam abhutam akatam asankhatam, nayidha jatassa bhutassa katassa sankhatassa nissaranam paññayetha. Yasma ca kho bhikkhave atthi ajatam abhutam akatam asankhatam, tasma jatassa bhutassa katassa sankhatassa nissaranam paññaya’ti ” yang artinya “ Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi, para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Umat Buddha Indonesia mempunyai sikap sangat menghormati kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama yang berbeda-beda itu merupakan sikap umat Buddha di seluruh dunia sejak jaman dahulu kala. Hal ini terbukti dengan adanya Prasasti Batu Kalinga No. XIII dari Raja Asoka (abad ketiga sebelum masehi) yang antara lain berbunyi : “ … janganlah kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa sesuatu dasar yang kuat…. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, disamping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya, maka kita telah merugikan agama kita sendiri, disamping merugikan agama orang lain….. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak berdiri sendiri, tetapi terhubungkan dengan dan sekaligus mengilhami sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan pengamalan dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tertanam dan berakar di masyarakat pada umumnya dan umat Buddha pada khususnya. Pancasila sebagai ideologi negara sangat relevan dengan situasi yang ada. Hal ini sudah jelas terbukti dan sekaligus teruji dengan demikian besarnya dan kuatnya solidaritas kemanusiaan dari seluruh masyarakat pada saat musibah tsunami dan bencana alam lainnya di Indonesia.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Samyutta Nikaya I : 75 yang berbunyi sebagai berikut : “ Sabba disa anuparigamma cetasa, Nevajjhaga piyataramattana kvaci, Evam piyo putthu atta paresam “ yang artinya “ Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran, maka kita menemukan bahwa diri sendirilah yang paling kita cintai. Karena tidak ada lain yang dicintai oleh seseorang selain dirinya sendiri, maka perhatikan dan hormatilah orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri “. Penjabaran dan pengamalan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab oleh umat Buddha Indonesia senantiasa dilandaskan pada “ Brahmavihara “ yang artinya “ Empat Keadaan Batin Luhur “, yaitu : Yang pertama “ Metta “ yang berarti cinta kasih universal, suatu sikap batin yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagian semua mahluk hidup tanpa membeda-bedakan sedikitpun. Yang kedua “ Karuna “ yang berarti welas asih, suatu sikap batin kasihan yang timbul apabila melihat penderitaan mahluk hidup lain dan berhasrat untuk menghilangkan atau meringankan penderitaannya. Yang ketiga “ Mudita “ yang berarti simpati, suatu sikap batin gembira yang timbul apabila melihat keberhasilan orang lain. Yang keempat “ Upekha “ yang berarti keseimbangan batin, suatu sikap batin yang seimbang dalam segala keadaan oleh karena menyadari bahwa setiap mahluk hidup memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Pengamalan sila pertama dan kedua dari Pancasila akan membentuk bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang religius dan terlibat secara aktif dalam mengimplementasikan bagaimana hidup yang religius didalam masyarakat yang majemuk.
Berbeda dengan dunia barat dimana negara dibentuk berdasarkan kesepakatan individual, para pendiri republik ini menetapkan terlebih dahulu cita-cita akan Negara Indonesia kemudian orang perorang bersepakat mewujudkan cita-cita itu. Kondisi inilah yang membuat para pendiri republik merumuskan Sila Persatuan Indonesia dimana persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Hak asasi manusia sebagai pribadi adalah hak asasi warga negara bukan hak yang terlepas-lepas.
Sila Persatuan Indonesia sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Khuddaka Nikaya, Cariyapitaka 33 / 595 yang berbunyi sebagai berikut : “ Vivadam bhayato disva avivadañca khemato, Samagga sakhila hotha esa buddhanusasani “ yang artinya “ Dengan melihat bahaya pertengkaran dan rasa aman yang timbul dari sikap menghindari pertengkaran, hendaklah seseorang bersikap menunjang persatuan dan kesatuan kelompok. Inilah ajaran Sang Buddha “. Juga sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dhammapada 194 yang berbunyi sebagai berikut “ Sukha sanghassa samaggî, samangganam tapo sukho “ yang artinya “ Berbahagialah mereka yang dapat bersatu, berbahagialah mereka yang tetap dalam persatuan “. Penjabaran dan pengamalan Sila Persatuan Indonesia oleh umat Buddha Indonesia dengan cara mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, golongan ataupun kelompok secara suka rela dengan dilandasi rasa cinta kasih kepada tanah air dan bangsa.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan dirumuskan oleh para pendiri republik dari hakikat alam pikir, karakter, kepribadian, dan sifat tanah-air Indonesia dengan segala kekhasannya yang berasal dari kebudayaan peradaban Nusantara-Indonesia sejak pra kedatangan Hindu, masa Hindu Buddha, masa kedatangan Islam, dan masa kontak dengan imperialisme Eropa Barat. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan ini membuat seluruh rakyat Indonesia termasuk umat Buddha didalamnya sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Dîgha Nikaya, Maha Parinibbana Sutta yang berbunyi sebagai berikut : “ …Kinti te ananda suttam vajjî samagga sannipatanti samagga vutthahanti samagga vajjîkaranîyani karontî’ti. Suttam me tam bhante vajjî samagga sannipatanti samagga vutthahanti samagga vajjîkaranîyani karontî’ti. Yavakîvañca ananda vajjî samagga sannipatanti samagga vutthahanti samagga vajjîkaranîyani karissanti, vuddhiyeva vajjînam patikankha no parihani. “ yang artinya “ Apakah engkau pernah mendengar, Ananda, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan ? Demikianlah yang saya dengar, bhante, bahwa kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan. Selama kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri permusyawaratan mereka secara damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana kerukunan, Ananda, maka dapatlah diharapkan perkembangan mereka, dan bukan keruntuhan. “ Penjabaran dan pengamalan Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyaratan / Perwakilan oleh umat Buddha Indonesia adalah dengan cara sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, terlebih dahulu diadakan musyawarah. Setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Setiap keputusan yang sudah dimusyawarahkan akan senantiasa dihormati dan dijunjung tinggi.
Dimensi idealisme dari Pancasila yaitu cita-cita yang ingin dicapai dalam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada masyarakat umumnya dan umat Buddha pada khususnya jelas tercermin dari Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sejalan dan bersesuaian dengan Kitab Suci Tipitaka pada Kitab Samyutta Nikaya IV : 331 yang artinya berbunyi sebagai berikut :
1.      Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara tidak sah disertai kekerasan, dan dengan berbuat demikian ia tidak memperoleh kesenangan, tidak memperoleh kenikmatan bagi dirinya sendiri, ia tidak membaginya dengan orang lain serta tidak melakukan perbuatan berjasa apapun, adalah tercela dalam tiga hal. Ia tercela karena ia mencari kekayaan dengan cara tidak sah disertai kekerasan, karena ia tidak memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan tidak membaginya dengan orang lain serta tidak melakukan perbuatan berjasa.
2.      Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah tanpa kekerasan, dan dengan berbuat demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, tetapi ia mempergunakan kekayaannya secara serakah, bernafsu, melekat, dan merasa bersalah, tidak berhati-hati terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan lupa pada nilai batinnya yang tertinggi, adalah terpuji dalam tiga hal, tetapi masih tercela dalam satu hal. Ia terpuji karena ia mencarinya dengan cara sah tanpa kekerasan, memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan berjasa. Tetapi ia masih tercela karena ia menggunakannya secara serakah, bernafsu, melekat dan merasa bersalah, tidak berhati-hati terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah dan lupa pada nilai batinnya yang tertinggi.
3.      Tetapi seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah tanpa kekerasan, dan dengan demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, menggunakannya tanpa serakah, bernafsu, melekat, dan tidak merasa bersalah, penuh perhatian terhadap bahaya penggunaan kekayaan secara salah, dan hidup sesuai dengan nilai batinnya yang tertinggi, adalah terpuji dan tidak tercela dalam empat hal.
Para pendiri republik ini menyadari bahwa kelima sila dari Pancasila memang tidak dapat dikatakan sudah sempurna dan mewakili jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia secara tuntas, akan tetapi paling tidak menjadi pegangan ideologis bernegara yang ingin dikembangkan oleh generasi-generasi penerus. Secara substansial Pancasila adalah common denominator (“pembagi bersama” alias titik temu) bagi berbagai pemikiran dan aliran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dari masa ke masa dan senantiasa memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu.
Dimensi fleksibilitas dari Pancasila, yaitu penyegaran dan pemaknaan secara kontekstual dan inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi tujuan utama secara terus menerus dengan mengadopsi semua perkembangan yang sesuai baik dari dalam maupun luar negeri maka kita dapat menempatkan Pancasila sebagai ideologi bernegara yang progresif, dinamis dan bergerak kedepan. Dengan penyegaran pemahaman terhadap Pancasila secara terus-menerus, Pancasila akan selalu menjadi titik temu keberagaman pada bangsa ini.

PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR

No comments:

Post a Comment

Chat

CHATT