Sejarah Desa Sampetan
1.
Masa Penjajahan Belanda 1931 - 1945
Desa
Sampetan termasuk wilayah Kerajaan Kartosuro yaitu milik Hingkang Sinuwun Prabu
Mangkurat Jawi, pemerintahan Desa Sampetan dipimpin oleh seorang Demang yaitu
Raden Demang Sastrodimejo yang merupakan trah Kasunanan Kartosuro dengan
silsilah keturunan trah Kartosuro sebagai berikut;
a)
berturut-turut
mulai dari Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro mempunyai
putra-putri sebanyak 42 orang;
b)
Putra
ke enam belas yaitu K.G.P.H Mangkunegoro
di Kartosuro memiliki 16 putra-putri;
c)
Putra
ke tujuh yaitu K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) mempunyai putri yaitu
R.A Singo Setiko di Boyolali;
d)
R.A
Singo Setiko mempunyai Putra yaitu Raden Ngabehi Ponco Antoro;
e)
Raden
Ngabehi Ponco Antoro mempunyai empat putra-putri yaitu:
1.
R.
Poncowisudo di Gubug,
2.
R.
Demang Sastrodimejo di Sampetan,
3.
Raden
Nganten Niti Suharjo dan
4.
R.
Poncosuroyo di Gubung.
Maka
silsilah keturunan trah Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dapat di uraikan
dengan bagan sebagai berikut;
Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi di Kartosuro
.
K.G.P.H Mangkunegoro di Kartosuro .
K.G.P.H Mangkudiningrat (Pangeran Timur) .
R.A Singo Setiko di Boyolali .
Raden Ngabehi Ponco Antoro .
R.
Demang Sastrodimejo di Sampetan .
Gambar 01. Gambar Silsilah Trah
Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi
Sumber: Soetomo, 2005: halaman 17
2.
Masa Pasca Perang Kemerdekaan 1945 – 1951
Masa
penjajahan Belanda di Desa Sampetan termasuk wilayah Melambong dan sistem Cultur
stelsel (tanam paksa) diberlakukan. Kemudian sistem tanam paksa dihapus dan
diganti dengan perjanjian dengan Hingkang Sinuwun Prabu Mangkurat Jawi dari
Kraton Kartosuro yaitu perjanjian Agrarisch Wet.s. 1870 pada pasal 51 js
berbunyi:
“dengan peraturan undang-undang
akan tanah-tanah hak earpac H.T, pengusahaan tanah perkebunan paling lama 75
tahun”
(Soetomo, 2005:
15).
Lahan
pertanian dan sistem irigasi sangat bagus ditinjau dari upaya pelestarian alam
maupun penggunaan lahan. Pola perkebunan di tata sesuai kondisi tanah, dan
sistem irigasi sudah modern, demikian juga jalan-jalan pengangkut hasil
perkebunan telah diaspal. Secara umum kondisi sosial ekonomi masyarakat walau
dalam era penjajahan termasuk dalam taraf cukup hal ini dibuktikan dengan
penghasilan tetap buruh kebun teh maupun buruh kebun kopi, untuk laki-laki dari
jam 07.30–13.30 mendapat penghasilan sebesar 5 sen, sedangkan perempuan dengan
waktu yang sama sebesar 3 sen. Jumlah ini besar jika dibandingkan dengan
penghasilan rata-rata buruh saat ini diwilayah Desa Sampetan dari jam 08.00 –
16.00 untuk kuli sebesar + Rp 25.000,00 dan tukang sebesar +Rp
30.000,00. jika ditinjau harga beras per bojok (+8 kg) pada jaman Belanda
1 bojok seharga 4 sen 1 benggol (4,10 sen) dan era sekarang 1 bojok sebesar Rp
50.000,00 untuk beras standar/ istilah penduduk setempat disebut beras sembako.
Sehingga penghasilan perhari waktu penjajahan Belanda masyarakat dapat
memperoleh 8 kg beras sedangkan saat ini hanya sekitar 2 – 3,8 kg itupun hanya
beras sembako.
Sistem
irigasi sudah modern dengan dibangun bak penampung air dari sumber mata air
grenjengan, terdapat banyak bak-bak tandon air yang saat ini tinggal 2 bak saja
yaitu di sebelah timur dukuh Sukorame
atau sebelah barat dukuh Sampetan dan di tengah-tengah dukuh Sampetan,
bak-bak lainnya sudah rusak era perang kemerdekaan. Saluran irigasi bagus
dibangun parit-parit yang dibuat dari batu dan semen bahkan sampai jurang/
kali, untuk menghindari longsor dan erosi juga dibuatkan plesteran batu dan
semen. Jalan dari lokasi perkebunan ke pabrik pengolahan produksi jalan-jalan
sudah di aspal sehingga distribusi hasil pertanian dapat berjalan dengan
lancar.
Pasca
perang kemerdekaan terjadi perubahan besar-besaran di Desa Sampetan secara
keseluruhan sistem pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan
Demang selaku penguasa yang memimpin penduduk menjadi pejuang-pejuang
kemerdekaan banyak keluarga trah-trah Bangsawan yang menjadi tawanan Belanda
dan penduduk waktu itu memiliki istilah populer yaitu ”di gondol londho”,
sehingga para pejuang yang ditangkap Belanda akan mendapat sebutan gondol
londho”.
Era
Tahun 1945-1951 sistem pemerintahan sudah bukan milik
Kasunanan Kartosuro, sekarang milik Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berikut ini bagan kepala Desa mulai tahun 1942-2011:
No
|
Kepala Desa
|
Tahun
|
1
|
Raden Demang
Sastrodimejo
|
Masa penjajahan
|
2
|
Raden Demang
Sumodirejo
|
|
3
|
Raden
Singodimejo
|
|
4
|
Cokro Subroto
|
Masa ORBA
|
5
|
Parno
|
|
6
|
Priyo Hartoyo
|
|
7
|
Mawardi
|
|
8
|
Semin Hartono
|
Sekarang
|
Perang
merusak segala tatanan yang telah teratur di Desa Sampetan Pabrik pengolahan
teh dan kopi di Melambong, sekarang Pabrik textile Primayudha
Ngadirojo dihancurkan. Kebun teh dan kebun kopi juga dijarah dan dihancurkan
kemudian terjadi pemindahan kepemilikan dari milik onderneming Belanda
menjadi ladang atau pekarangan milik penduduk. Jalan-jalan dan jembatan, saluran irigasi dihancurkan untuk
menghalang-halangi agresi KNIL yang begitu kejam karena sebagian besar tentara
Belanda adalah orang-orang Negro dan orang-orang India Tamil yang dalam istilah penduduk disebut
Londho Ireng. Pada saat Kepala Desa bapak Cokro Subroto, era kemerdekaan,
terjadi pembagian tanah bekas perkebunan milik Belanda menjadi tanah milik
rakyat.
Pembagian
tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi dukuh-dukuh baru dan
perkebunan-perkebunan menjadi ladang-ladang milik rakyat. Luas lahan pekarangan adalah 2.000 m2,
sedangkan ladang satu bahu 6.000 m2.
B.
Pejuang-pejuang asal desa Sampetan (pahlawan nasional)
C.
Alih Guna Lahan
Era
tahun + 1987-1989, penduduk di Dusun Cemorosewu, Dusun Baturejo, Dusun
Sendang, Dusun Sukorame mengajukan ke Pemerintah pensertifikatan tanah hutan
kawasan lereng gunung merbabu masyarakat menyebut
etan plang malang, yang berbatasan langsung dengan
kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu
(TNGM) dan tanah
oro-oro untuk di sertifikatkan menjadi SHM. Atas permohonan warga penduduk, disetujui oleh
Pemerintah dengan di bentuk Kepanitiaan Pensertifikatan Tanah
Oro-oro dan Hutan Kawasan Lereng Gunung Merbabu menjadi pekarangan tempat
tinggal dan lahan pertanian dengan pembagian lahan untuk pekarangan seluas 1500
m2, dan untuk ladang seluas 2.500 m2, biaya untuk
pensertifikatan tanah sebesar Rp 800.000 (delapan ratus ribu rupiah), namun saat itu harga emas pergram sebesar + Rp 25.000,00
s/d Rp 30.000,00 jika pensertifikatan tanah tersebut dengan harga emas maka
menjadi sebesar 32 gram atau 27,5 gram.
Biaya pensertifikatan tanah tahun 2010 untuk tanah letter
C dan letter D sebesar + Rp1.500.000,00-Rp3.000.000,00 maka dapat dibayangkan
apa yang menjadi penyebab mahalnya harga pensertifikatan tanah tersebut karena
harga emas untuk per 31 Juli 2010 adalah
+ Rp 250.000,00 sehingga jika diakumulasikan dengan harga emas maka
biaya pensertifikatan tanah tersebut sebesar + Rp. 8.000.000,00 (delapan
juta rupiah) dan atau Rp 6.875.000,00 (enam juta delapan ratus ribu
tujuh puluh lima ribu rupiah).
PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR
Sejarahnya terpapar bagus, tetapi bagaimana pasca 2000an Pak?
ReplyDeleteSejarahnya terpapar bagus, tetapi bagaimana pasca 2000an Pak?
ReplyDeleteMakasih sobat atas komentarnya, sejarah desa Sampetan itu hanya bagian dari penelitian saya, mengapa untuk yang tahun 200an keatas saya putus karena hal ini menyangkut berbagai pihak yang harus saya jaga privasinya, banyak data2, yg saya miliki namun jika saya posting nanti saya kena masalah, karena inti dari sejarah desa sampetan adalah penelitian saya mengenai dampak alihguna kawasan lereng gunung merbabu untuk lahan pertanian di desa sampetan, jika anda membaca dampak alihguna lahan, disitu juga banyak yang tidak saya tampilkan, karena saya tidak mau kena masalah, demikian penjelasan secara singkat, besuk saya juga akan menulis tentang kemajuan desa sampetan ditinjau dari aspek pariwisata maupun penyelamatan sumber daya alam dimana sampetan sebagai hulu sungai serang yang menjadi sumber air di waduk kedungombo Boyolali
DeleteMakasih atas infonya
ReplyDeleteKayak nama kakekku "Mbah Singodimejo"