informasi cari disini

Tuesday, 27 September 2011

Arti Candi Borobudur



Candi Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama Buddha Mahayana, stupa Borubudur juga merupakan replika dari kosmologi atau alam semesta, sesuai filsafat Mahayana. Stupa Borubudur Borubudur terdiri dari tiga-dhatu (dhatu disini berarti alam atau loka, Tri-loka berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu, Rupa-dhatu, dan Arupa Dhatu.

Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang berarti menunjukkan 10 tingkat  kemajuan spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi. Dasabhumi merupakan doktrin Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan arti dari teks atau kitab suci Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala, dan Maha-Karmavibhangga.

Secara keseluruhan candi itu merupakan refleksi keagamaan dari isi kitab suci, doktrin, dan filsafat serta tradisi agama Buddha Mahayana yang meyakinkan dan menakjubkan sebagaimana diajarkan di Universitas Nalanda di India.

Candi Borobudur adalah bangunan suci Mahayana, Candinya merupakan dunia archais, dunia kuno, namun tetap hidup; mengungkapkan dunia masa silam tetapi masih hadir ke hadapan kita dalam format tertentu, mengandung makna spiritual yang begitu dalam.

Bangunan candi Borubudur bila dilihat dari atas bagaikan bunga teratai. Bunga teratai melambangkan kesucian dan tumbuhnya sebanyak 7 tangkai bersamaan waktu dengan saat Sidharta baru lahir kemudian langsung berjalan 7 langkah diatas bunga teratai yang baru tumbuh itu.

Relief yang menjelaskan kitab suci dalam candi merupakan bagian dari Sembilan Dharma dalam Agama Buddha Mahayana; Sembilan Dharma yaitu : (1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2) Gandavyuha, (3) Dasabhumisvara, (4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6) Saddharma-Pundarika, (7) Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9) Suvarna-Prabhasa.

Jatakamala

Dalam teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-perbuatan bijak yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum menjadi Bodhisattva dan Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam teks ini beliau seringkali menjelma sebagai kelinci, berang-berang, serigala, kera dan kura-kura. Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan dapat menjadi contoh atau suri teladan bagi manusia, jangan berbuat sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang kesetiaan (cerita Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.

Maha-Karmavibhangga

Penjelasan teks ini berupa relief-relief pada bagaian kaki candi Borobudur yang tertimbun. Maha-Karmavibhangga menjelaskan tentang hukum sebab dan akibat dari perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan menerima hukumannya di Neraka dan pelaku kebaikan akan menerima pahala di Nirwana. Neraka yang disebutkan di dalam kitab suci ini adalah Sanjiva dan Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan Tapana, Pratapana dan Awici.

Lalita-vistara

Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara. Lalita-vistara menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu, tentang kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai ke-Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di Taman Rusa dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana Sutra).

Gandavyuha

Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana telah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.

Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi

Tingkat Kamadhatu : J.W. Ijzerman, tahun 1885, secara kebetulan telah menemukan di bawah tembok batu bagian ini dari kaki bengunah yang asli Candi Borobudur. Menggambarkan adegan-adegan dari Maha-Karmavibhangga yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan ‘alam-bawah’ tempat manusia biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi oleh hawa nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala, Prabhakari.

Tingkat Rupadhatu : Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam Manusia ke alam Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara, Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana manusia mulai sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama.
Tingkat Arupadhatu : merupakan alam non-materi murni, melambangkan manusia yang telah sampai pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual, dalam Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat Acala.

  Panca Dhyani Buddha dan Mudra

Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan terhadap para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.
Dhyani Buddha adalah para Buddha yang telah mencapai Samyak Sambodhi menurut waktu kosmik atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum Sakyamuni Buddha menurut sejarah. Mudra adalah suatu gerakan tangan yang mempunyai arti dan lambang.

Menurut Mahayana-Tantrayana ada Panca Dhyani Buddha yaitu :
1
Aksobhya Dhyani Buddha 
:
Dengan Bhumisparsa mudra yaitu telapak tangan kiri ke atas dan diatas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup di atas lutut kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi.
2
Ratnasambhava Dhyani Buddha
:
dengan Wara Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka ke atas pengkuan, telapak tangan kanan terbuka diatas lutut kanan, memberikan anugerah dan berkah.
3
Amitabha Dhyani Buddha
:
dengan Dhyana mudra yaitu telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri di pangkuan bermeditasi
4
Amoghasidhi Dhyani Buddha
:
dengan Abhaya Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya jangan takut.
5
Wairocana Dhyani Buddha
:
dengan Witarka mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari : tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu jari dan jari telunjuk membentuk lingkaran, artinya telah menguasai tiga loka (triloka)

Penampilan berbagai rupang/patung Dhyani Buddha pada candi Borobudur :

Tingkat
Patung
Mudra
Jumlah
Arah
Keterangan
 I
--
--
--
--
--
II-V
Amoghasiddhi
Abhaya
92
Utara
Torana
II-V
Aksobhya
Bhumisparsa
92
Timur
Torana
II-V
Amitabha
Dhyana
92
Barat
Torana
II-V
Ratnasambhava
Dana
92
Selatan
Torana
VI
Vairocana
Witarka
64
Tengah
Torana
VII
Vairocana
Dharmacakra
32
Tengah
Cella
VIII
Vairocana
Dharmacakra
24
Tengah
Cella
IX
Vairocana
Dharmacakra
16
Tengah
Cella
X
(Adibuddha)?
Bhumisparsa
(1)
Puncak
Stupa
10
Panca (5)
Dhyani Buddha
6 Mudra
504
+ (1)
5 Penjuru
Torana
Cella

Panca Dhyani Buddha dan Makna


Dhatu Buddha

Panca Bhuttha

Warna

Panca Skandha
Panca Indera

Vairocana

Tanah
Putih
Rupa
Bau

Akshobhya

Hawa
Biru
Vinnana
Suara

Ratnasambhava

Air
Kuning
Vedana
Rasa

Amitabha

Api
Merah
Sanna
Bentuk

Amoghasiddhi

Angin
Jingga
Sankhara
Peraba

Tingkat, Balustrada, Patung, Cerita Relief dalam candi Borobudur

Ting-kat
Dhatu (Alam)
Bentuk Balustrasa
Jumlah
Arca
Naskah

Jumlah
relief
I
Kamadhatu
Segi Empat
-
Karmavibbhanga
160
II
Rupadhatu
Segi Empat
104
A1. Lalitavistara
A2. Jatakamala Awadana
a1. Jatakamala)
a2. Jatakamala)
120
120
500

III
Rupadhatu
Segi Empat
104
B. Gandhavyuha
b. Jataka , Awadana
128
100
IV
Rupadhatu
Segi Empat
88
C. Gandhavyuha
c. Gandhavyuha
88
88
V
Rupadhatu
Segi Empat
72
D. Gandhavyuha
d. Gandhavyuha
84
72
VI
Rupadhatu
Segi Empat
64
--
--
VII
Arupadhatu
Lingkaran
32
--
--
VIII
Arupadhatu
Lingkaran
24
--
--
IX
Arupadhatu
Lingkaran
16
--
--
X
Arupadhatu
Stupa Induk
(1)
--
--
10
10 Dhatu
Dua bentuk
504 arca
+ (1)
6  naskah
1460
relief

Referensi dari Krom (Dumarcay hal. 39), Bulletin Sinar Seroja Bhakti, serie 9 tahun 1983.Candi Borobudur berukuran panjang 123 m, lebar 123m, tinggi 42 m (termasuk puncat stupa). Tingkat teratas dalam bentuk stupa besar berdiameter 9,9 m dan tinggi 7 m.

A.J. Bernet Kempers ahli purbakala Belanda menyebutkan Borobudur ‘Buddhisme yang penuh misteri sebagaimana terlukiskan di batu’. Merupakan perpaduan yang sempurna antara manusia dan kesucian yang keramat.

Penemuan Kembali dari misteri Candi Borobudur

Tidaklah diketahui secara pasti, kapan candi Borobudur lenyap dari pandangan mata.

Tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1815) mendengar berita bahwa ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah di desa Borobudur, sewaktu beliau berkunjung ke Semarang. Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan. Pekerjaan membersihkan dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.

Tahun 1840, Residen Kedu, Cl Hartman, memberikan beberapa peti hadiah Cinderamata kepada Raja Siam Chulalongkorn yang telah sekian lama berada di tanah Jawa mau kembali ke negaranya. Hadiah cinderamata ini berupa 8 gerobak memuat 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung singa, 1 pancuran makara,dan 1 patung raksasa penjaga gerbang-Dwarapala, semuanya ini berasal dari candi Borobudur, namun semuanya tenggelam hilang di dasar laut.

Tahun 1850, dilakukan berbagai usaha pemindahan relief-relief candi Borobudur melalui kertas gambar. Tahun 1873, monografi pertama tentang candi Borobudur diterbitkan.

Tahun 1885, Ijzerman di dalam berbagai penyelidikannya mendapatkan di belakang batu kaki candi masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi dengan relief-relief. Batu itu dibongkar sebagian demi sebagian dan kemudian dipasang kembali, J.W. Ijzerman berhasil memotret 200 relief yang selama ini tertutup di kaki candi Borobudur yang terbawah merupakan penjelasan Maha Karmavibhangga.

Kapten Godfrey Philips Baker sesuai dengan catatannya pada bulan Mei 1815, adalah orang Eropa yang pertama yang melihat dan memperhatikan arca Dwarapala di Candi Borobudur.

Namun perlu dicatat bahwa sampai akhir 1982, arca tersebut masih berada di tangan pemerintahan Muangthai, disimpan di Museum Bangkok, hasil bawaan Raja Chulalongkorn sebagai kenang-kenangan dari Residen Kedu, Hartmann, ketika ia mengunjungi Borobudur pada tahun 1840.

Tahun 1849, Wilsen mendapat instruksi dari pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti secara resmi dan membuat gambar-gambar relief yang ada di candi Borobudur. Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang membuat foto-foto bergambar secara terbatas tentang Candi Borobudur.

Tahun 1901 di Hindia Belanda didirikan Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera, dibawah pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat tahun 1905) yang bertugas untuk mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga membawahi pemugaran Candi Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can Erp yang juga seorang perwira Zeni berpangkat Letnan Satu.

Tahun 1913, Badan Keperbukaan darurat tersebut dibubarkan dan dilahirkan Jawatan Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst, Kemudian bernama Dinas Purbakala, diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala, dipecah lagi menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom membawahi Dinas Purbakala ini.
Dr. Nj Prom memegang prinsip hasil seminar keperbukalaan lanjutan pada tahun 1915. Hal yang diperhitungkan berpatokan pada segi keperbukalaan, keindahan dan sejarah. Dr. FDK Bosch terdapat silang pendapat yang tidak selesai. Dr. FDK Bosch bertindak terlalu jauh dan tetap memugar beberapa candi dengan prinsipnya.
Akibatnya dari kekeliruan konsepsi Dr. FDK Bosch yang tidak patuh pada prinsip butir seminar tahun 1915, candi Kalasan menjadi korbannya dan tidak bisa dipugar ladi. (Kutipan dari buku: Menyingkap Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan Budaya, Penerbit PT Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, hal. 27)

Tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur. Tahun 1907-1911, Theodore Van Erp memimpin pemugaran, candi Borobudur untuk pertama kali dalam sejarahnya dapat ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van Erp berpendapat bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50 tahun, dan ternyata pendapatnya benar.

Tahun 1926 – 1940 diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda disebabkan ada malleise, ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu panitia untuk menyelidiki proses kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meminta kepada UNESCO, Prof.Dr.C. Coremans (almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia untuk mengadakan penelitian terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi Borobudur. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur dalam keadaan sangat kritis.
Tahun 1963, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan berikut penyediaan anggaran khusus guna pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965 meletus peristiwa G.30.S, pemugaran candi tidak berjalan karena inflasi yang tinggi. Tahun 1966, karena ketiadaan biaya maka pemugaran yang baru dalam tahap penelitian diberhentikan sama sekali.

Bulan Agustus 1967, di kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA) dilangsungkan International Congres of Orientalist ke-27. Dari Indonesia hadir Dr. R. Soekmono dengan mengajukan sebuah kertas kerja berjudul ‘New Light on some Borobudur Problems’.
Kongres kemudian mendesak UNESCO untuk segera membantu Indonesia dalam menyelamatkan monumen nasional Borobudur, maka keluarlah Surat Keputusan tahun 1967 oleh UNESCO bahwa Borobudur segera diselamatkan. Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan 2 orang ahli, B. Groslier dan C. Voute ke Indonesia. Mereka berada di Indonesia setelah selama sebulan mengadakan penelitian di Borobudur, berkesimpulan bahwa monumen Borobudur memang dalam keadaan yang gawat dan perlu segera penanganan yang sungguh-sungguh, untuk  segera dipugar secara besar-besaran. Tahun 1968, salah satu keputusan pada general Conference ke-15 di Paris, delegasi Pemerintah Republik Indonesia ikut hadir, UNESCO sangat menaruh minat dan perhatian terhadap masalah yang dihadapi Indonesia. UNESCO berjanji untuk memberikan bantuan dalam usaha penyelamatan pusaka umat manusia Candi Borobudur, yang juga merupakan salah satu dari keajaiban dunia. Tahun 1969, pemugaran Candi Borobudur dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Kebudayaan Nasional.

Tahun 1971, Menteri P&K membentuk ‘Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai oleh Prof. Ir. R. Roosseno. Drs. R. Soekmono sebagai Sekretaris, disamping tugasnya sebagai Pimpro dan Kepala LPPN (Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Badan ini dibantu oleh suatu tim staf ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu: ahli purbakala dari LPPN, ahli mikro biologi dan mekanika tanah dari Fakultas Pertanian UGM, ahli teteknik bangunan dari Fakultas Teknik UGM, ahli Geologi dari ITB, dan ahli beton dari Universitas Saraswati. BPCB menangani semua masalah Borobudur baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Bulan Januari 1971 atas usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara pihak Unesco dan Pihak Indonesia (Staf BPCB), dihadiri pula oleh para ahli dari negara-negara Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Italia. Pertemuan ini telah mensepakati bahwa rencana pemugaran yang akan diterapkan pada Candi Borobudur adalah sesuai yang telah dibuat oleh Nedeco (the Netherland Engineering Consultants).

Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi Borobudur yang lebih terpadu telah rampung dibuat.
Karena bersifat internasional, Pemerintah Indonesia telah membentuk, ‘internasional Consultative Committee’ dalam bualn Desember 1972, tujuannya untuk menilai kemajuan pekerjaan dan merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya. Komite ini mengadakan raptnya setahun sekali di UNESCO, terdiri dari Dr. D. Chihara (Jepang), Dr.J.N. Jenssen (Amerika Serikat, sejak tahun 1976 digantikan oleh W. Brown MORTON III). Sr.R.M. Lemaire (Belgia), Dr.K.Siegler (Jerman Barat), Prof.Ir. Roosseno (Indonesia) sebagai Ketua Komitee tersebut. Selain itu, Januari 1973, UNESCO membentuk sebuah Badan Internasional ialah Executive Committee, yang tugas pokoknya membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola dana-dana internasional yang dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan untuk penyelamatan Candi Borobudur.
Pemugaran itu diperkirakan akan memakan waktu 6 tahun dengan biaya sejumlah US$ 7,750,000 (perkiraan tahun 1971). Dari jumlah ini UNESCO akan menyediakan dana sebesar US$ 5 juta, yang diperoleh dari sumbangan para negara anggota, selebihnya akan ditanggung Pemerintah Indonesia.

Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden RI., Jenderal Soeharto berkenan meresmikan dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur. Di Borobudur terdapat 2 buah prasasti; yaitu akan dimulainya pekerjaan pemugaran candi itu, dan tanda selesainya pemugaran candi. Prasasti pertama, sekarang terletak di sebelah Utara Pendopo, berukiran kalimat yang berbunyi sebagai berikut :

          “Dengan Megucapkan Syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, kami Pemerintah Republik Indonesia, meresmikan dimulainya Pemugaran Candi Borobudur sebagai langkah utama dalam meneruskan warisan Pusaka Budaya Nasional Indonesia, kepada keturunan yang akan datang demi kebahagiaan umat manusia.”

Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung Merapi, beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :

          “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto”.Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman dari ; Menyingkap Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, oleh Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R. Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).
<!--more-->
PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR


No comments:

Post a Comment

Chat

CHATT