Candi
Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama Buddha Mahayana,
stupa Borubudur juga merupakan replika dari kosmologi atau alam semesta, sesuai
filsafat Mahayana. Stupa Borubudur Borubudur terdiri dari tiga-dhatu (dhatu
disini berarti alam atau loka, Tri-loka berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu,
Rupa-dhatu, dan Arupa Dhatu.
Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang
berarti menunjukkan 10 tingkat kemajuan
spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi. Dasabhumi merupakan doktrin
Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan arti dari teks atau kitab suci
Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala, dan Maha-Karmavibhangga.
Secara keseluruhan candi itu merupakan refleksi
keagamaan dari isi kitab suci, doktrin, dan filsafat serta tradisi agama Buddha
Mahayana yang meyakinkan dan menakjubkan sebagaimana diajarkan di Universitas
Nalanda di India.
Candi Borobudur adalah bangunan suci Mahayana,
Candinya merupakan dunia archais, dunia kuno, namun tetap hidup; mengungkapkan
dunia masa silam tetapi masih hadir ke hadapan kita dalam format tertentu,
mengandung makna spiritual yang begitu dalam.
Bangunan candi Borubudur bila dilihat dari atas
bagaikan bunga teratai. Bunga teratai melambangkan kesucian dan tumbuhnya
sebanyak 7 tangkai bersamaan waktu dengan saat Sidharta baru lahir kemudian
langsung berjalan 7 langkah diatas bunga teratai yang baru tumbuh itu.
Relief yang menjelaskan kitab suci dalam candi
merupakan bagian dari Sembilan Dharma dalam Agama Buddha Mahayana; Sembilan
Dharma yaitu : (1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2) Gandavyuha, (3)
Dasabhumisvara, (4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6) Saddharma-Pundarika, (7)
Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9) Suvarna-Prabhasa.
Jatakamala
Dalam
teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-perbuatan bijak
yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum menjadi Bodhisattva dan
Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam teks ini beliau seringkali menjelma
sebagai kelinci, berang-berang, serigala, kera dan kura-kura.
Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan dapat menjadi contoh atau suri teladan
bagi manusia, jangan berbuat sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang
kesetiaan (cerita Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.
Maha-Karmavibhangga
Penjelasan teks ini berupa relief-relief pada
bagaian kaki candi Borobudur yang tertimbun. Maha-Karmavibhangga menjelaskan
tentang hukum sebab dan akibat dari perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan
menerima hukumannya di Neraka dan pelaku kebaikan akan menerima pahala di
Nirwana. Neraka yang disebutkan di dalam kitab suci ini adalah Sanjiva dan
Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan Tapana, Pratapana dan Awici.
Lalita-vistara
Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara.
Lalita-vistara menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu,
tentang kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai
ke-Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di Taman Rusa
dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana
Sutra).
Gandavyuha
Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya
raya yang bernama Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru
guna mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana telah
bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.
Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi
Tingkat Kamadhatu :
J.W. Ijzerman, tahun
1885, secara kebetulan telah menemukan di bawah tembok batu bagian ini dari
kaki bengunah yang asli Candi Borobudur. Menggambarkan adegan-adegan dari Maha-Karmavibhangga
yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan
‘alam-bawah’ tempat manusia biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi
oleh hawa nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum
memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita,
Vimala, Prabhakari.
Tingkat Rupadhatu :
Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan
tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam Manusia ke alam
Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief yang
menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara,
Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana manusia mulai
sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas
kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi,
Durangama.
Tingkat Arupadhatu :
merupakan alam non-materi murni, melambangkan manusia yang telah sampai pada
makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual, dalam
Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur
mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan
tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat
Acala.
Panca Dhyani Buddha dan Mudra
Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan
pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan
terhadap para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.
Dhyani
Buddha adalah para Buddha yang telah mencapai Samyak
Sambodhi menurut waktu kosmik atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum
Sakyamuni Buddha menurut sejarah. Mudra adalah
suatu gerakan tangan yang mempunyai arti dan lambang.
Menurut
Mahayana-Tantrayana ada Panca Dhyani Buddha yaitu :
1
|
Aksobhya
Dhyani Buddha
|
:
|
Dengan Bhumisparsa
mudra yaitu telapak tangan kiri ke atas dan diatas pangkuan, telapak
tangan kanan menelungkup di atas lutut kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi.
|
2
|
Ratnasambhava
Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Wara Mudra yaitu
telapak tangan kiri terbuka ke atas pengkuan, telapak tangan kanan terbuka
diatas lutut kanan, memberikan anugerah dan berkah.
|
3
|
Amitabha
Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Dhyana mudra
yaitu telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri di pangkuan bermeditasi
|
4
|
Amoghasidhi
Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Abhaya Mudra
yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan telapak tangan kanan diatas
lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya
jangan takut.
|
5
|
Wairocana
Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Witarka mudra yaitu telapak tangan kiri
terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari :
tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu jari dan jari telunjuk membentuk
lingkaran, artinya telah menguasai tiga loka (triloka)
|
Penampilan
berbagai rupang/patung Dhyani Buddha pada candi Borobudur :
Tingkat
|
Patung
|
Mudra
|
Jumlah
|
Arah
|
Keterangan
|
I
|
--
|
--
|
--
|
--
|
--
|
II-V
|
Amoghasiddhi
|
Abhaya
|
92
|
Utara
|
Torana
|
II-V
|
Aksobhya
|
Bhumisparsa
|
92
|
Timur
|
Torana
|
II-V
|
Amitabha
|
Dhyana
|
92
|
Barat
|
Torana
|
II-V
|
Ratnasambhava
|
Dana
|
92
|
Selatan
|
Torana
|
VI
|
Vairocana
|
Witarka
|
64
|
Tengah
|
Torana
|
VII
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
32
|
Tengah
|
Cella
|
VIII
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
24
|
Tengah
|
Cella
|
IX
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
16
|
Tengah
|
Cella
|
X
|
(Adibuddha)?
|
Bhumisparsa
|
(1)
|
Puncak
|
Stupa
|
10
|
Panca (5)
Dhyani Buddha
|
6 Mudra
|
504
+ (1)
|
5 Penjuru
|
Torana
Cella
|
Panca Dhyani Buddha dan Makna
Dhatu Buddha |
Panca Bhuttha |
Warna |
Panca Skandha
|
Panca Indera
|
Vairocana |
Tanah
|
Putih
|
Rupa
|
Bau
|
Akshobhya |
Hawa
|
Biru
|
Vinnana
|
Suara
|
Ratnasambhava |
Air
|
Kuning
|
Vedana
|
Rasa
|
Amitabha |
Api
|
Merah
|
Sanna
|
Bentuk
|
Amoghasiddhi |
Angin
|
Jingga
|
Sankhara
|
Peraba
|
Tingkat,
Balustrada, Patung, Cerita Relief dalam candi Borobudur
Ting-kat
|
Dhatu (Alam)
|
Bentuk Balustrasa
|
Jumlah
Arca
|
Naskah
|
Jumlah
relief
|
I
|
Kamadhatu
|
Segi Empat
|
-
|
Karmavibbhanga
|
160
|
II
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
104
|
A1. Lalitavistara
A2. Jatakamala Awadana
a1. Jatakamala)
a2. Jatakamala)
|
120
120
500
|
III
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
104
|
B. Gandhavyuha
b. Jataka , Awadana
|
128
100
|
IV
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
88
|
C. Gandhavyuha
c. Gandhavyuha
|
88
88
|
V
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
72
|
D. Gandhavyuha
d. Gandhavyuha
|
84
72
|
VI
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
64
|
--
|
--
|
VII
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
32
|
--
|
--
|
VIII
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
24
|
--
|
--
|
IX
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
16
|
--
|
--
|
X
|
Arupadhatu
|
Stupa Induk
|
(1)
|
--
|
--
|
10
|
10 Dhatu
|
Dua bentuk
|
504 arca
+ (1)
|
6 naskah
|
1460
relief
|
Referensi
dari Krom (Dumarcay
hal. 39), Bulletin
Sinar Seroja Bhakti, serie 9 tahun 1983.Candi Borobudur berukuran
panjang 123 m, lebar 123m, tinggi 42 m (termasuk puncat stupa). Tingkat
teratas dalam bentuk stupa besar berdiameter 9,9 m dan tinggi 7 m.
A.J. Bernet Kempers ahli
purbakala Belanda menyebutkan Borobudur ‘Buddhisme yang penuh misteri
sebagaimana terlukiskan di batu’. Merupakan perpaduan yang sempurna antara
manusia dan kesucian yang keramat.
Penemuan Kembali dari misteri Candi Borobudur
Tidaklah
diketahui secara pasti, kapan candi Borobudur lenyap dari pandangan mata.
Tahun 1814, Sir Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa
(1811-1815) mendengar berita bahwa ada sebuah bangunan purbakala yang masih
terpendam di dalam tanah di desa Borobudur, sewaktu beliau berkunjung ke
Semarang. Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan
penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan
hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit
terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan. Pekerjaan
membersihkan dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan
tanah dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat
lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di
tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.
Tahun 1840, Residen Kedu, Cl Hartman,
memberikan beberapa peti hadiah Cinderamata kepada Raja Siam Chulalongkorn yang
telah sekian lama berada di tanah Jawa mau kembali ke negaranya. Hadiah
cinderamata ini berupa 8 gerobak memuat 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2
patung singa, 1 pancuran makara,dan 1 patung raksasa penjaga gerbang-Dwarapala,
semuanya ini berasal dari candi Borobudur, namun semuanya tenggelam hilang di
dasar laut.
Tahun 1850, dilakukan berbagai usaha
pemindahan relief-relief candi Borobudur melalui kertas gambar. Tahun 1873,
monografi pertama tentang candi Borobudur diterbitkan.
Tahun 1885, Ijzerman di dalam berbagai
penyelidikannya mendapatkan di belakang batu kaki candi masih ada lagi kaki
candi lain yang dihiasi dengan relief-relief. Batu itu dibongkar sebagian demi
sebagian dan kemudian dipasang kembali, J.W. Ijzerman berhasil memotret 200
relief yang selama ini tertutup di kaki candi Borobudur yang terbawah merupakan
penjelasan Maha Karmavibhangga.
Kapten
Godfrey Philips Baker sesuai dengan catatannya pada bulan Mei 1815, adalah
orang Eropa yang pertama yang melihat dan memperhatikan arca Dwarapala di Candi
Borobudur.
Namun
perlu dicatat bahwa sampai akhir 1982, arca tersebut masih berada di tangan
pemerintahan Muangthai, disimpan di Museum Bangkok, hasil bawaan Raja
Chulalongkorn sebagai kenang-kenangan dari Residen Kedu, Hartmann, ketika ia
mengunjungi Borobudur pada tahun 1840.
Tahun 1849, Wilsen mendapat instruksi dari
pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti secara resmi dan membuat gambar-gambar
relief yang ada di candi Borobudur. Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang
membuat foto-foto bergambar secara terbatas tentang Candi Borobudur.
Tahun 1901 di Hindia Belanda didirikan
Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en
Madoera, dibawah pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat tahun 1905) yang bertugas
untuk mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga membawahi pemugaran Candi
Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can Erp yang juga seorang perwira Zeni
berpangkat Letnan Satu.
Tahun 1913, Badan Keperbukaan darurat
tersebut dibubarkan dan dilahirkan Jawatan Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst,
Kemudian bernama Dinas Purbakala, diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan
Purbakala, dipecah lagi menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom membawahi Dinas
Purbakala ini.
Dr. Nj
Prom memegang prinsip hasil seminar keperbukalaan lanjutan pada tahun 1915. Hal
yang diperhitungkan berpatokan pada segi keperbukalaan, keindahan dan sejarah.
Dr. FDK Bosch terdapat silang pendapat yang tidak selesai. Dr. FDK Bosch
bertindak terlalu jauh dan tetap memugar beberapa candi dengan prinsipnya.
Akibatnya
dari kekeliruan konsepsi Dr. FDK Bosch yang tidak patuh pada prinsip butir
seminar tahun 1915, candi Kalasan menjadi korbannya dan tidak bisa dipugar
ladi. (Kutipan dari buku: Menyingkap Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan
Budaya, Penerbit PT Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, hal. 27)
Tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda
menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur. Tahun
1907-1911, Theodore Van Erp memimpin pemugaran, candi Borobudur untuk pertama
kali dalam sejarahnya dapat ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van
Erp berpendapat bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50 tahun, dan
ternyata pendapatnya benar.
Tahun 1926 – 1940
diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda disebabkan ada malleise,
ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu panitia untuk menyelidiki proses
kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai
faktor.
Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meminta
kepada UNESCO, Prof.Dr.C. Coremans (almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia
untuk mengadakan penelitian terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi
Borobudur. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur
dalam keadaan sangat kritis.
Tahun
1963, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan berikut penyediaan
anggaran khusus guna pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965 meletus peristiwa
G.30.S, pemugaran candi tidak berjalan karena inflasi yang tinggi. Tahun 1966,
karena ketiadaan biaya maka pemugaran yang baru dalam tahap penelitian
diberhentikan sama sekali.
Bulan Agustus 1967, di
kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA) dilangsungkan International Congres of
Orientalist ke-27. Dari Indonesia hadir Dr. R. Soekmono dengan mengajukan sebuah
kertas kerja berjudul ‘New Light on some Borobudur Problems’.
Kongres
kemudian mendesak UNESCO untuk segera membantu Indonesia dalam menyelamatkan
monumen nasional Borobudur, maka keluarlah Surat Keputusan tahun 1967 oleh
UNESCO bahwa Borobudur segera diselamatkan. Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan
2 orang ahli, B. Groslier dan C. Voute ke Indonesia. Mereka berada di Indonesia
setelah selama sebulan mengadakan penelitian di Borobudur, berkesimpulan bahwa
monumen Borobudur memang dalam keadaan yang gawat dan perlu segera penanganan
yang sungguh-sungguh, untuk segera
dipugar secara besar-besaran. Tahun 1968, salah satu keputusan pada general
Conference ke-15 di Paris, delegasi Pemerintah Republik Indonesia ikut hadir,
UNESCO sangat menaruh minat dan perhatian terhadap masalah yang dihadapi
Indonesia. UNESCO berjanji untuk memberikan bantuan dalam usaha penyelamatan
pusaka umat manusia Candi Borobudur, yang juga merupakan salah satu dari
keajaiban dunia. Tahun 1969, pemugaran Candi Borobudur dimasukkan dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun, sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Kebudayaan
Nasional.
Tahun 1971, Menteri P&K membentuk
‘Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai oleh Prof. Ir. R.
Roosseno. Drs. R. Soekmono sebagai Sekretaris, disamping tugasnya sebagai
Pimpro dan Kepala LPPN (Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Badan ini
dibantu oleh suatu tim staf ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu: ahli
purbakala dari LPPN, ahli mikro biologi dan mekanika tanah dari Fakultas Pertanian
UGM, ahli teteknik bangunan dari Fakultas Teknik UGM, ahli Geologi dari ITB,
dan ahli beton dari Universitas Saraswati. BPCB menangani semua masalah
Borobudur baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Bulan Januari 1971 atas
usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara pihak Unesco dan Pihak Indonesia
(Staf BPCB), dihadiri pula oleh para ahli dari negara-negara Perancis, Belanda,
Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Italia. Pertemuan ini telah
mensepakati bahwa rencana pemugaran yang akan diterapkan pada Candi Borobudur
adalah sesuai yang telah dibuat oleh Nedeco (the Netherland Engineering
Consultants).
Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi
Borobudur yang lebih terpadu telah rampung dibuat.
Karena
bersifat internasional, Pemerintah Indonesia telah membentuk, ‘internasional
Consultative Committee’ dalam bualn Desember 1972, tujuannya untuk menilai
kemajuan pekerjaan dan merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya.
Komite ini mengadakan raptnya setahun sekali di UNESCO, terdiri dari Dr. D.
Chihara (Jepang), Dr.J.N. Jenssen (Amerika Serikat, sejak tahun 1976 digantikan
oleh W. Brown MORTON III). Sr.R.M. Lemaire (Belgia), Dr.K.Siegler (Jerman
Barat), Prof.Ir. Roosseno (Indonesia) sebagai Ketua Komitee tersebut. Selain
itu, Januari 1973, UNESCO membentuk sebuah Badan Internasional ialah Executive
Committee, yang tugas pokoknya membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola
dana-dana internasional yang dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan
untuk penyelamatan Candi Borobudur.
Pemugaran
itu diperkirakan akan memakan waktu 6 tahun dengan biaya sejumlah US$ 7,750,000
(perkiraan tahun 1971). Dari jumlah ini UNESCO akan menyediakan dana sebesar
US$ 5 juta, yang diperoleh dari sumbangan para negara anggota, selebihnya akan
ditanggung Pemerintah Indonesia.
Tanggal 10 Agustus 1973,
Presiden RI., Jenderal Soeharto berkenan meresmikan dimulainya pekerjaan
pemugaran Candi Borobudur. Di Borobudur terdapat 2 buah prasasti; yaitu akan
dimulainya pekerjaan pemugaran candi itu, dan tanda selesainya pemugaran candi.
Prasasti pertama, sekarang terletak di sebelah Utara Pendopo, berukiran kalimat
yang berbunyi sebagai berikut :
“Dengan
Megucapkan Syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, kami Pemerintah Republik
Indonesia, meresmikan dimulainya Pemugaran Candi Borobudur sebagai langkah
utama dalam meneruskan warisan Pusaka Budaya Nasional Indonesia, kepada
keturunan yang akan datang demi kebahagiaan umat manusia.”
Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung
Merapi, beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada
prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
“Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden
Republik Indonesia, Soeharto”.Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman
dari ; Menyingkap Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban
Dunia, oleh Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R.
Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha Penyelamatan
Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).
<!--more-->
PENGUNJUNG BIJAK BERKENAN MEMBERI KOMENTAR
No comments:
Post a Comment