Pertama motivator Amerika Serikat Cherrie
Carter Scott, pada buku If Life is Game, These are The Rules (Brodway,
1998), menyatakan bahwa hidup adalah “pelajaran” demi “pelajaran”, setiap
pelajaran selalu diulang-ulang hingga menguasainya. Semua pelajaran yang
dialami tiada nilai salah atau nilai benar pada setiap individu, yang ada hanya
“pelajaran”. Proses pelajaran itu tiada akhir. Orang lain adalah cermin bagi
orang lain, maka setiap orang yang ingin mengetahui seperti apa hidup saat yang
akan datang tergantung kemampuan individu dalam menjalani hidup saat ini.
Ada seorang pemuda yang selalu
uring-uringan, gampang marah, ia memarahi diri sendiri atau orang lain jika ada
hal yang membuatnya tidak senang. Suatu saat ayah pemuda tersebut membawa
sekantung paku, kemudian berpesan “anakku, kemarahanmu tidak akan menolongmu,
kurangilah itu, maka saat kamu marah, tancapkan paku ini pada pagar dibelakang
rumah”. Hari pertama ia menancapkan 20 paku, hari demi hari berikutnya, ia
mampu mengurangi paku yang ditancapkan pada pagar belakang rumahnya, lama-lama
ia sadar ternyata lebih mudah mengendalikan emosinya daripada harus menancapkan
sebatang paku dipagar.
Ayah pemuda tersebut kemudian
berkata “bagus anakku, kau telah mampu
mengendalikan dirimu”, kemudian ayah pemuda tersebut mengajak anaknya
menuju pagar yang telah ditancapi paku oleh pemuda tersebut, kemudian sang ayah
berkata “anakku, setiap kau mampu menahan
amarahmu cabut paku yang telah kau tancapkan pada pagar ini”, maka begitu
patuhnya pemuda tersebut, setiap ia mampu mengendalikan amarahnya, maka ia
mencabut sebatang paku yang telah ditancapkannya, minggu demi minggu, hari demi
hari, banyak paku yang telah ia tancapkan, maka mulailah ia mampu untuk
mengendalikan amarahnya dan kemudian ia mulai mencabut sebatang demi sebatang
paku yang telah ia tancapkan.
Pemuda tersebut sudah mampu
mengendalikan amarahnya, ia menjadi seorang penyabar, tidak pernah marah walau
mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan hatinya, mengapa bisa pemuda tersebut
mengendalikan kemarahan yang ada pada dirinya, tak lain disebabkan ia selalu
teringat akan kata-kata ayahnya yang sangat ia hormati dan kasihi, yaitu “anakku lihatlah kayu-kayu yang telah kau
cabut pakunya tersebut, kayu ini menjadi berlubang-lubang bukan?, tidak bisa
rata lagi seperti sebelum kau tancap paku itu bukan?, demikian juga anakku,
kata-kata buruk, sikap, roman wajahnya yang buruk, akan menyakitkan siapa saja
yang menjadi sasaranmu, mereka bisa saja memaafkan setiap kali kau marah, dan
murka, namun luka di hatinya, sakit, perih, tidak semuadah dan bahkan tidak
akan hilang, walau kau memohon maaf beribu-ribu kali.maka tindakanmu ini tepat
sekali mampu mengendalikan amarahmu, dan tiada jalan lain selain mengendalikan
amarahmu, bukan hanya sebatas mohon maaf”.
No comments:
Post a Comment